Tanpa revisi, jadi maaf banget kalo ada typo dan semacamnya.----
"Dia kabur lewat balkon," kata Sandi, mengklarifikasi perihal kepergian Nagita yang tak pernah ia duga.
"Mustahil!" pekik Arsen tak percaya.
Tentu saja Arsen tidak percaya karena ia sangat ingat kalau letak kamar Nagita ada di lantai dua.
"Dia kabur pake tali, Arsen," ungkap Sandi seraya memijat keningnya.
Pasangan ayah dan anak itu sekarang sedang di ruang kerja Sandi. Di sana juga ada orang kepercayaan Sandi yang sejak tadi konsisten menutup mulut karena masih mendengarkan perkara yang tengah terjadi.
"Gimana dengan Jingga? Kalian sudah bicara?" tanya Sandi.
"Belum. Jingga hilang, Pa," gumam Arsen.
Wajahnya tertunduk lemah. Seolah-olah mewakili putus asa yang ia rasakan saat ini.
"Hilang? Kamu jangan becanda, Arsen?!" Sandi menaikkan nada bicaranya.
"Aku nggak bercanda, Pa. Aku juga yakin hilangnya Jingga ada kaitannya dengan Nagita!" teriak Arsen terlanjur hilang kendali.
"Nggak mungkin. Kakakmu nggak mungkin se--"
"Buktinya udah ada, Pa!" tukas Arsen dengan nada tajam.
Kalau dulu, mungkin Arsen akan berpikiran sama dengan Sandi. Dia tak akan percaya kalau Nagita akan tega berbuat demikian. Arsen tidak akan percaya kalau kakak yang selalu terlihat baik, ramah dan lemah lembut akan tega menyakiti istrinya. Namun, sekarang keadaan sudah berbeda. Arsen telah mengenal Nagita. Dia tahu Nagita bisa melakukan hal yang tak terbayangkan. Karena itu sekarang Arsen benar-benar kacau. Ia merasa nyaris tak sanggup bernapas karena memikirkan apa yang akan Nagita lakukan pada istrinya.
"Pak Sandi, Mas Arsen?" Lucky, orang kepercayaan Sandi tiba-tiba memanggil dua orang itu.
Baik Arsen maupun Sandi segera menatap Lucky.
"Sebaiknya sekarang kita fokus untuk mencari keberadaan mbak Jingga dan mbak Nagita," usul Lucky dengan sopan.
Beruntung sekali ada Lucky. Sehingga sekarang Arsen dan Sandi bisa lebih mengontrol emosi masing-masing.
"Tapi, kita harus mulai dari mana?" Arsen bertanya putus asa.
"Kita bi--"
Ucapan Lucky terpotong oleh suara dering ponsel Arsen.
Segera Arsen memeriksa ponsel dalam saku jasnya. Ada panggilan masuk dari nomor tak dikenal.
"Angkat, Mas," pinta Lucky.
Mengangguk cepat, lalu Arsen menerima panggilan telepon itu. Ia juga mengaktifkan mode loud speaker agar Sandi dan Lucky bisa mendengar suara si penelepon.
"Halo?"
Jantung Arsen berdegup kencang. Perutnya terasa bagai dililit ketika dari seberang sana tak kunjung ada suara.
"M-Mas Arsen ...."
Akhirnya, suara itu menembus pendengaran Arsen. Dalam sekejap berhasil menimbulkan remasan kuat di hatinya.
"Mara? Mara?! Kamu di mana? Sayang, kamu baik-baik aja, kan? Mara?" panik Arsen.
Mata lelaki itu sudah memerah menahan segala emosi. Sedih, marah, kesal dan putus asa.
"Mas ... saya mohon ... ceraikan saya, Mas ...."
Permintaan itu kali ini terucap langsung dari bibir Jingga.
KAMU SEDANG MEMBACA
After We Got Married
Romansa"Menikahlah dengan saya, Jingga." Itu adalah kalimat paling tidak masuk akal yang pernah Jingga dengar dari orang yang juga tak pernah Jingga sangka. Tetapi, Jingga tidak bisa menolak dan tidak akan menolak karena yang sedang dia butuhkan memang seo...