20. Keinginan Arsen

9.6K 588 14
                                    


Pukul 11 malam Arsen masih melajukan mobilnya menembus jalan raya yang masih cukup ramai. Saking asiknya mengobrol dengan Rion dan Kalu, Arsen sampai lupa waktu. Akibatnya, ia baru pulang disaat malam sudah larut.

Tak lama, mobil Arsen akhirnya memasuki basemen apartemennya. Arsen bergegas mematikan mesin mobilnya kemudian keluar. Kaki panjangnya mengayun cepat menuju lift ke lantai 10 di mana unit apartemennya berada.

Dulu Arsen tak peduli akan pulang jam berapa ketika sudah bertemu teman-temannya. Bahkan, terkadang ia tidak pulang ke apartemen dan memilih menginap di tempat Rion yang tidak terlalu jauh dari lokasi mereka biasa nongkrong. Tetapi, kini Arsen merasa begitu gelisah karena baru kembali saat malam sudah larut. Bayang-bayang wajah Jingga menjadi alasan utama ia begitu gelisah. 

Begitu memasuki apartemen Arsen langsung disambut oleh suasana apartemen yang hening. Namun, seluruh lampu ruangan masih menyala.
Mara belum tidur? Arsen bertanya dalam hati kala melihat seluruh lampu masih menyala. Tak lama, pertanyaan Arsen pun terjawab.

"Mara?" gumam Arsen ketika melihat Jingga tertidur dengan posisi kepala di atas meja ruang tamu dengan laptop masih menyala dan kertas-kertas yang berceceran di sekitar gadis itu.

Jingga ketiduran saat mengerjakan tugas. Pantas saja lampu-lampu dalam apartemen minimalis itu masih menyala.

Melihat kondisi Jingga, Arsen langsung menghela napas. Tapi, kemudian ia meletakkan tas kerjanya dan menghampiri Jingga. Lelaki berkemeja abu-abu itu bersimpuh di samping Jingga. Matanya menatap lamat wajah Jingga yang sedang tertidur pulas. Tangan Arsen pun terulur guna menyelipkan rambut Jingga ke belakang telinga sehingga ia bisa lebih leluasa mengagumi wajah cantik gadis itu.

Tiba-tiba saja Arsen terkekeh. Ia teringat pada Rion dan Kalu yang dengan gamblang mengatainya gila karena jatuh cinta pada seorang gadis yang usianya cukup jauh di bawahnya. Sekarang Arsen semakin setuju pada Rion dan Kalu. Dia memang gila. Bahkan, hanya karena melihat Jingga sedang tidur saja ia bisa tersenyum begitu lepas.

"Enghh …."

Jingga melenguh pelan. Namun, sama sekali tidak terusik oleh kehadiran Arsen. Menggemaskan. Begitulah pikir Arsen.

"Mara?" bisik Arsen, berniat memastikan apakah Jingga sudah kembali terlelap atau belum.

"Mara?" bisik Arsen sekali lagi.

Lelaki itu kembali terkekeh tatkala sadar ternyata Jingga benar-benar tidur pulas. Ia lantas meraih tubuh Jingga ke dalam gendongannya. Dengan mudah Arsen mengayunkan langkah menuju kamarnya sambil menggendong Jingga.
Ia lalu menidurkan Jingga di atas ranjangnya, kemudian menyelimuti tubuh gadis itu.

Tak langsung beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan diri, Arsen justru tertarik untuk kembali memperhatikan wajah lelap Jingga. Kini, lelaki itu tengah duduk di tepi ranjang. Tangan kanannya sibuk mengusap pipi Jingga dengan gerakan lembut dan hati-hati.
Perlahan, wajahnya pun mendekat dan mendaratkan kecupan lembut di kening gadis itu.

"Good night, Mara."

***

Hari-hari sibuk akhirnya dimulai. Pagi-pagi sekali Jingga sudah bangun. Saat bangun ia sempat kaget karena mendapati dirinya yang ternyata tidur di kamar Arsen. Namun, Jingga tidak sempat bertanya karena ternyata Arsen sudah bangun lebih dulu dan terlihat siap untuk melaksanakan sholat subuh. Alhasil, Jingga pun buru-buru mengambil air wudhu agar bisa sholat bersama Arsen.

Membayangkan adegan tadi tiba-tiba saja senyum malu-malu menyembul di wajah gadis itu. Entah kenapa ia merasa begitu bahagia ketika ingat sekarang saat sholat Arsen yang akan menjadi imamnya.

"Mara?"

Jingga gelagapan saat mendengar Arsen memanggilnya. Ia lantas berbalik dan sejenak mengabaikan kompor yang tengah menyala dengan wajan berisi omelet di atasnya.

"Eh, iya, Pak?" sahut Jingga.

"Ada yang perlu saya bantu?" tanya Arsen.

Lelaki itu sudah berpindah ke samping Jingga. Penampilannya tampak rapi dengan kemeja biru laut berpadu dengan celana bahan hitam. Rambut hitamnya di sisir rapi dan memperlihatkan kening putih serta alis tebal yang menambah kesan tegas pada wajahnya.

"Nggak, kok. Ini udah mau selesai. Pak Arsen duduk aja," tutur Jingga.

"Beneran?" tanya Arsen sekali lagi.

"Iya," jawab Jingga dengan lembut yang sukses membuat Arsen harus mengulum senyum.

Akhirnya, Arsen bergegas duduk dan menunggu Jingga yang tengah memindahkan omelet buatannya ke atas piring.

"Hari ini kelas kamu dimulai jam berapa?" tanya Arsen, kemudian menyeruput kopi yang memang sudah disiapkan oleh Jingga sejak beberapa menit lalu.

"Hari ini kelas saya dimulai jam 9, Pak. Kelas terakhir kalo nggak salah jam 2-an," jawab Jingga dengan rinci sembari menyerahkan omelet kepunyaan Arsen.

Arsen menerima piring omeletnya. Setelah berdoa sejenak ia langsung memakan hidangan berbahan utama telur itu.

"Berangkatnya sama siapa? Atau perlu saya jemput? Setelah kelas pagi saya ada jeda 45 menit," usul Arsen.

"Eh, nggak usah, Pak!" tolak Jingga buru-buru. Ia bahkan sampai meletakkan sendoknya dan beralih melambaikan dua tangan di depan dada.

"Kenapa? Kamu keberatan kalo sa–"

"Bukan keberatan, tapi kasian Pak Arsen kalo harus bolak-balik. Daripada begitu mendingan saya berangkat pake ojol aja atau bareng Bima. Kan, dari rumah Bima ke kampus itu lewat apartemen ini," jelas Jingga panjang lebar.

Alis kanan Arsen sudah terangkat skeptis. Mendengar nama Bima disebut sontak saja rasa cemburunya datang dengan tidak tahu dirinya. Namun, tentu saja Jingga tidak menyadari hal itu. Gadis itu terlalu polos dan tidak peka.

"Jadi, kamu lebih pilih berangkat sama Bima daripada dijemput suami kamu sendiri?" todong Arsen.

"Bukan gitu, Pak!" bantah Jingga.

"Ya, udah. Kalo gitu nanti saya jemput aja," putus Arsen.

Terlihat Jingga ingin kembali protes, tapi akhirnya tak jadi karena mendapat tatapan tajam dari Arsen. Pertanda kalau sekarang lelaki itu tak ingin dibantah.
Keduanya pun kembali menyantap sarapan masing-masing.

"Mara?"

Setelah cukup lama diam dan menekuri omeletnya, akhirnya Arsen kembali bersuara.

"Ya? Kenapa, Pak?" tanya Jingga dengan hati-hati.

Jingga takut akan membuat lelaki itu tersinggung atau nyaris salah paham seperti tadi. Jadi, sebisa mungkin ia menata tutur kata dan nada bicaranya.

Arsen menatap lekat tepat di manik mata Jingga. Cukup lama. Tanpa kata dan hanya sebuah tatapan yang benar-benar mampu mengunci fokus Jingga. Membuat gadis itu tak mampu berpaling.

"Pak Arsen, kenapa?" Jingga kembali bertanya.

Tanpa sadar Jingga telah menggigit bibir bawahnya. Waswas pada sesuatu yang akan Arsen katakan.

Arsen menarik napasnya pelan. "Saya benar-benar ingin serius dengan pernikahan kita, Mara."

"Y-ya?"

Tubuh Jingga terkesiap. Tidak pernah menyangka kalau Arsen akan berkata demikian.

"Pak Arsen ba-barusan bi-bilang apa?" tanya Jingga terbata-bata.

Gadis itu benar-benar tidak siap dengan apa yang baru didengarnya.

Di tempatnya, Arsen masih dengan ekspresi dan sorot mata yang sama berusaha mengulang kembali apa yang sempat ia ungkapkan. Jingga sama sekali tidak tahu kalau butuh keberanian amat besar bagi Arsen untuk mengungkapkan keinginannya. Untuk memberi tahu Jingga bahwa ia ingin pernikahan mereka berjalan semestinya, sesuai harapannya. Bahagia dan dinaungi oleh cinta mereka berdua.

"Saya benar-benar ingin serius dengan pernikahan kita, Mara."





***

Sat set sat set! Spam komennya dungs!!

After We Got MarriedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang