37. Alana

6.2K 423 16
                                    


"Siang, Pak!"

Arsen menghentikan langkahnya kala mendengar sapaan ramah dari Ambar.

"Siang, Bu Ambar," balas Arsen.

Lalu, lelaki itu segera menuju mejanya. Ia duduk dan langsung membuka kembali laptop yang sempat ditinggalkan untuk makan siang.

"Pak Arsen?" panggil Ambar.

Arsen yang semula sudah hendak menyibukkan diri pun terpaksa menoleh ke arah Ambar. Meja mereka memang bersisian dan hanya dipisahkan oleh jarak 2 meter untuk jalur lewat orang-orang dalam ruangan itu jika ingin ke mesin fotokopi di pojok ruangan.

"Kenapa, Bu?"

"Saya masih penasaran, deh. Kenapa Pak Arsen nggak lanjutin program yang udah Bapak rancang jauh-jauh hari itu? Kenapa malah dialihkan ke saya? Padahal, Bapak bisa aja berangkat sendiri untuk pengabdian masyarakat karena program yang Bapak ajukan pasti selalu tembus pendanaan pemerintah," oceh Ambar panjang lebar.

Tak langsung menjawab, Arsen justru diam dan teringat pada Jingga.

"Saya punya alasan sendiri," jawab Arsen.

Ambar menatap Arsen penuh selidik. "Bapak udah mau nikah, ya? Calon istrinya nggak mau ditinggal jauh-jauh? Iya?" terka Ambar antusias.

Salah. Justru saya yang nggak mau ninggalin istri saya jauh-jauh. Tapi, Anda malah menawarkan asistensi program itu sama istri saya. Omel Arsen dalam hati.

"Bukan begitu, Bu Ambar," sanggah Arsen dengan nada tenang. Walau sebenarnya sekarang dia lumayan kesal pada rekannya itu.

Arsen kembali fokus pada laptopnya untuk menyelesaikan pekerjaan yang sempat terbengkalai. Namun, sangat disayangkan karena kini otaknya justru tak bisa diajak kompromi.

Sekarang Arsen malah kepikiran pada Jingga. Jauh dalam lubuk hatinya dia takut dan sedikit tak rela jika akhirnya Jingga menerima tawaran Ambar, lalu pergi bersama Elkan. Berbagai kekhawatiran muncul ke permukaan. Bagaimana kalau mereka kembali dekat? Bagaimana kalau perasaan Jingga pada Elkan kembali tumbuh? Bagaimana ... bagaimana jika akhirnya ia ditinggalkan?

"Ck!" Arsen berdecak lumayan keras.

"Pak Arsen nggak apa-apa?" tanya Ambar khawatir.

Arsen mengangguk singkat. Lalu, kembali berusaha fokus pada pekerjaannya.

Namun, nyatanya dia benar-benar tidak bisa fokus lagi. Pikiran-pikiran negatif itu mendadak datang menyerbu. Entahlah. Sejak dulu jika berkaitan dengan Jingga pasti otak dan hatinya akan bekerja berlebihan dan bereaksi berlebihan pula.

"Pak Arsen?"

Kali ini bukan Ambar yang memanggilnya melainkan seorang dosen senior.

Segera Arsen berdiri menyambut lelaki usia sekitar 50-an tahun itu.

"Iya. Ada yang bisa saya bantu, Pak Surya?" tanya Arsen dengan sopan.

Pak Surya tersenyum sumringah, lalu mengangsurkan sebuah paper bag berwarna cokelat pada Arsen.

"Untuk saya, Pak?" Arsen berusaha memastikan.

"Betul. Ini tadi ada mahasiswi yang menitip pada saya. Tadinya dia berdiri aja di depan pintu. Saya suruh masuk nggak mau dan malah nitip ini sama saya," papar Pak Surya.

"Kalo boleh tau siapa, ya, Pak?" Arsen kembali bertanya seraya menerima paper bag itu.

"Bapak pasti tau orangnya, begitu kata dia tadi," jawab Pak Surya sembari mengerling jahil.

Lelaki itupun kembali ke kursinya setelah mendapat ucapan terima kasih dari Arsen.

"Ciee! Pak Arsen punya secret admirer, ya," goda Ambar.

After We Got MarriedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang