Jingga menyusuri koridor menuju kelasnya. Ia melangkahkan kakinya dengan santai, namun tidak dengan jantungnya yang terus berdegup kencang. Beberapa kali gadis itu juga menggelengkan wajahnya. Ia berniat mengenyahkan bayang-bayang Arsen dan hal apa yang tadi sempat mereka lakukan di dalam mobil."Hai, Jingga!"
Beruntungnya, fokus Jingga segera tertuju pada beberapa mahasiswa yang menyapanya.
Libur semester cukup lama ternyata tidak membuat eksistensi Jingga memudar. Buktinya kini masih banyak baik kakak tingkat maupun adik tingkat yang mengingat Jingga. Lagipula siapa juga yang bisa begitu mudah lupa dengan gadis cantik seperti Jingga. Tidak hanya cantik. Jingga juga memiliki otak yang cerdas dan punya etika. Keramahannya membuat lelaki dari jurusan manapun tak akan berpikir dua kali untuk masuk ke dalam barisan fansnya. Sayang sekali, Jingga bukan tipe gadis yang suka memanfaatkan popularitasnya.
Dia juga tidak pernah menggubris para lelaki yang datang mendekat. Apalagi sekarang statusnya bukan lagi gadis lajang. Semakin bertambah saja antisipasi Jingga pada para lelaki itu."Woi!"
Jingga yang semula sibuk tersenyum dan membalas sapaan beberapa mahasiswa pun segera berbalik. Dapat ia lihat Bima tengah berlari ke arahnya.
"Lo berangkat sama siapa? Tumben banget nggak mau nebeng gue?" tanya Bima begitu tiba di depan Jingga.
Tak langsung menjawab justru kini gadis itu memasang cengiran penuh makna.
Bola mata Bima lantas berotasi malas. Sadar pada makna cengiran sahabatnya itu."Yang udah punya tunangan, mah, beda, ya," sindir Bima.
Keduanya lantas mulai bergegas menuju kelas.
Tak ingin sahabatnya ngambek, Jingga pun mulai menyenggol lengan Bima beberapa kali. Berniat membujuk lelaki bersurai gondrong itu agar memakluminya."Jangan ngambek, Bim. Gue, tuh, sebenarnya pengin berangkat sama lo, tapi nggak enak juga kalo no–"
"Halah! Nggak usah ngibul. Bilang aja lo juga demen, kan, berangkat sama calon laki lo itu?" sergah Bima.
Mereka tiba di depan pintu kelas. Jingga langsung menghentikan langkahnya, lalu menggamit lengan Bima. Tak lupa ia memasang senyum paling manis. Untuk apa lagi jika bukan untuk mencegah Bima dari aksi ngambeknya.
"Itu lo tau," ucap Jingga sambil tersenyum lebar.
Sekali lagi Bima merotasikan bola matanya malas. Dalam hati lelaki itu berpikir bahwa sepertinya mulai sekarang ia harus rela dijadikan yang kedua oleh Jingga. Kasihan sekali. Padahal, biasanya mereka sudah seperti kembar dempet. Ke mana-mana bersama dan tidak terpisahkan.
"Lo nggak mau nyari paca–aw!"
Ucapan Jingga terhenti dan tergantikan oleh ringisan yang cukup nyaring.Tampak kink gadis yang memakai rok sepan berwarna cokelat itu sedikit terhuyung ke depan dengan tangan kiri yang memegang bahu kanannya yang baru saja ditabrak oleh seseorang.
"Makanya kalo ngobrol, tuh, jangan di tengah jalan," desis si pelaku.
Jingga jelas kenal dengan sosok yang kini berdiri di depannya dan Bima itu. Dia adalah Cheryl salah satu gadis cantik dan populer yang sering sekali mencoba cari gara-gara dengan Jingga. Dari dulu Cheryl juga menganggap kalau Jingga itu saingannya. Padahal, sedikitpun Jingga tidak berpikir demikian. Mereka jelas punya bakat dan kelebihan masing-masing. Cheryl cantik dan orang yang mudah akrab. Gadis itu juga salah satu model terkenal. Sementara Jingga selain cantik dia juga punya punya otak yang cerdas. Namun, entah kenapa hingga kini Cheryl masih saja memusuhi Jingga.
"Heh, lampir! Jalanan masih luas, ya. Emang lo aja yang buta," hardik Bima.
"Apa lo bilang? Berani lo ngatain gue lampir?" balas Cheryl tak terima.

KAMU SEDANG MEMBACA
After We Got Married
Romance"Menikahlah dengan saya, Jingga." Itu adalah kalimat paling tidak masuk akal yang pernah Jingga dengar dari orang yang juga tak pernah Jingga sangka. Tetapi, Jingga tidak bisa menolak dan tidak akan menolak karena yang sedang dia butuhkan memang seo...