42. Maafin Saya, Mara

7.3K 479 86
                                    


Berkali-kali Jingga menatap pintu apartemen dan jam dinding. Hanya untuk memastikan sudah berapa lama ia duduk dalam heningnya ruang tamu demi menunggu Arsen yang hingga kini belum juga kembali.

Lelaki itu pergi sejak pagi dan bertemu Jingga di supermarket siang tadi. Lalu, setelahnya ke mana Arsen pergi? Tempat apa yang sedang dikunjungi lelaki itu hingga selarut ini belum juga kembali? Atau memang Arsen tak berniat pulang? Karena sibuk dengan Alana?

"Mas Arsen nggak mungkin sejahat itu, kan?" Jingga berucap lirih sembari menatap pintu apartemen yang tertutup rapat.

Tiga detik berikutnya ia memalingkan wajah. Arah pandangnya kini tertuju pada lukisan abstrak yang terpajang di atas dinding ruang tamu. Senyum getir Jingga terbit kala melihat lukisan itu.

"Kita bahkan nggak punya foto pernikahan, Mas," kata Jingga dengan nada miris.

Kenapa Jingga baru menyadarinya sekarang? Ke mana saja dirinya selama ini?

Gadis itu lantas mendongakkan wajah. Ia berusaha mencegah air mata yang tiba-tiba saja mendesak keluar.

"Mas Arsen?"

Refleks gadis itu berdiri ketika mendengar pintu apartemen dibuka dari luar. Benar saja, Arsen yang membukanya.

Penampilan Arsen terlihat agak berantakan. Wajahnya dihias gurat lelah. Kalau saja tak ingat ada masalah yang perlu diselesaikan pasti Jingga tak akan tega menghadang suaminya itu.

"Mas kita harus bicara!" seru Jingga kala melihat Arsen yang hendak mengabaikannya.

Layaknya robot yang dikendalikan oleh remot kontrol, Arsen berbalik menghadap Jingga dengan gerakan kaku. Senada dengan wajahnya yang juga kelihatan kaku.

"Mas Arsen kenapa, sih?" Jingga bertanya sembari mendekati Arsen.

Arsen dengan nada datar balas bertanya, "Memang kelihatannya saya kenapa?"

"Mas masih nanya kenapa? Mas lupa gimana sikap Mas sama saya tadi siang? Mas bersikap seolah-olah saya bukan siapa-siapa. Saya bukan istri Mas Arsen. Mas tau nggak? Tadi saya berniat minta Mas Arsen untuk nemenin saya belanja, tapi Mas Arsen malah pergi gitu aja. Ternyata Mas Arsen udah ada janji sama perempuan lain. Kenapa, Mas? Udah bosen sama saya? Udah nggak butuh saya lagi? Malu mengakui saya sebagai istri? Karena saya masih kecil? Karena saya nggak mau kasih keturunan? Karena saya nggak bisa menuruti keinginan Mas dan mama? Iya?" cerca Jingga.

Sikap Arsen yang terkesan acuh tak acuh telah membuat kesabaran Jingga terbakar habis tak bersisa. Sehingga malam ini, alih-alih bicara baik-baik seperti rencana awalnya, Jingga justru meledak-ledak tak terkendali.

Arsen memandang tajam mata Jingga yang merah dan berkaca-kaca.

"Jaga bicara kamu, Mara," desis Arsen.

"Mas Arsen jahat," lirih Jingga.

"Nggak usah memutarbalikkan fakta. Jelas-jelas kamu yang mulai semua ini, Mara. Kamu yang mesra-mesraan sama laki-laki lain. Kamu yang nggak bisa menyadari posisi kamu sebagai istri saya. Kamu tau? Untung aja hari itu Cheryl yang melihat kelakuan kamu bukan orang lain atau teman mama. Ka--"

"Jadi, Cheryl pelakunya? Dia yang kasih foto itu ke Mas Arsen?" tukas Jingga cepat.

Arsen mengatupkan bibirnya. Rahangnya tampak mengetat menahan marah. Apalagi saat melihat Jingga terkekeh sinis dengan wajah berlinang air mata. Ekspresi itu sungguh sangat tak ingin Arsen lihat.

"Mas Arsen lebih percaya sama Cheryl daripada sama saya?" tanya Jingga. Nada bicaranya menyiratkan betapa gadis itu tak menyangka dengan Arsen.

Alih-alih menjawab pertanyaan Jingga, kini Arsen malah memalingkan wajah.

"Oke. Saya paham."

Setelah berkata demikian, Jingga bergegas masuk kamarnya. Tidak sanggup lagi jika ia harus berhadapan dengan Arsen dan harus menelan kenyataan bahwa Arsen lebih percaya pada Cheryl dibanding dirinya.

Di dalam kamarnya, Jingga menangis tersedu-sedu. Namun, dia membekap mulutnya sendiri demi mencegah Arsen mendengar suara tangisnya.

Sungguh Jingga tidak pernah menyangka kalau masa lalu akan terulang kembali. Dia tidak menyangka kalau Arsen juga sama seperti Elkan. Mereka sama-sama lebih percaya pada Cheryl.

"Apa akhirnya ... juga bakalan sama?" ucap Jingga disela-sela isak tangisnya.

***

"Sen, lo mau sampai kapan di sini? Udah mau pagi ini."

Entah sudah berapa kali Rion menanyai Arsen yang sejak 4 jam lalu sibuk meneguk alkohol. Yang pasti sekarang sahabat Arsen itu sudah nyaris menyerah. Dia tidak tahu dengan cara apa lagi membujuk Arsen agar menghentikan kegilaannya.

Setelah bertengkar dengan Jingga, Arsen kembali meninggalkan apartemen. Ia memilih mengasingkan diri ke klub malam milik Rion. Arsen yang selama bertahun-tahun tak pernah lagi menyentuh alkohol, akhirnya malam ini kembali meneguk benda haram itu. Tujuannya cuma untuk membuat benaknya lupa akan pertengkarannya dengan Jingga.

"Gue cuma mau balas perbuatan dia, Yon," ungkap Arsen sambil menyangga keningnya dengan dua tangan.

"Hah? Maksud lo apa?" bingung Rion.

"Kemarin ...."

Ia pun menceritakan semuanya pada Rion. Tentang tindakannya yang tak mengakui Jingga sebagai istri di depan Alana dengan alasan ingin membuat Jingga cemburu sama seperti dirinya yang cemburu karena melihat Jingga pelukan dengan Bima. Jadi, alasan dari tindakan brengsek Arsen hari ini adalah karena rasa cemburunya yang berlebihan.

"Lo keterlaluan, Sen," ucap Rion.

"Mara yang mulai duluan," sanggah Arsen.

"Tapi, lo belum dengar penjelasan dia. Lo main percaya gitu aja sama apa yang lo lihat. Lo terlanjur nurutin rasa cemburu lo yang akut itu," omel Rion.

Mata Arsen yang sudah tak fokus, kini tengah memandang sloki di depannya. Bibirnya berdesis lirih.

"Minta maaf sama istri lo. Itu saran dari gue," cetus Rion.

"Gue nggak salah," tolak Arsen.

"Lo salah!" tegas Rion.

"Hari ini lo bisa bayangin nggak perasaan dia gimana saat lo nggak mau mengakui dia di depan perempuan lain? Apalagi gue yakin Jingga juga nggak kenal sama Alana," imbuh Rion.

Tanpa aba-aba Arsen melempar slokinya ke sembarang arah hingga hancur berkeping-keping. Matanya kini memandang tajam sosok Rion yang sama sekali tak gentar oleh amukannya.

"Foto itu pasti benar karena adik lo yang ngirim ke gue," desis Arsen.

"Bego!" maki Rion.

"Lo udah berapa lama kenal adik gue? Lo lupa apa aja yang selama ini pernah dia lakuin demi bikin cewek-cewek yang mau deketin lo menjauh? Lupa?" cerca Rion.

Melonggarkan dasi yang melilit lehernya, Rion lantas meneguk alkohol yang baru disajikan oleh bartender. Tak tanggung-tanggung lelaki berkacamata itu menghabiskan alkoholnya dalam sekali teguk.

"Sakit jiwa lo, Sen," desis Rion.

Arsen yang dikatai sakit jiwa sama sekali tak menyahut. Dia malah tertegun. Matanya memerah dan berkaca-kaca. Seolah baru menyadari hal bodoh apa yang baru saja dia lakukan. Namun, penyesalannya sudah tak berarti, kan? Kenyataannya dia terlanjur menyakiti hati Jingga. Dia terlalu menuruti rasa cemburunya dan membuatnya buta pada hal-hal penting yang seharusnya tak boleh dia lewatkan.

"Inilah alasan kenapa pacaran sebelum menikah itu penting. Biar apa? Biar otak lo bisa mikir saat hubungan lo bermasalah," sinis Rion.

Arsen tak menggubris cibiran Rion. Ia hanya terduduk lemas di bar stool. Kedua tangannya sibuk menjambak rambutnya sendiri.

Maafin saya, Mara. Sesal Arsen dalam hatinya.

***

Spam komen lagi, yaaaa!
Hehehe
😚😚😚

After We Got MarriedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang