Setelah memakan waktu perjalanan selama beberapa jam, akhirnya Jingga dan Arsen tiba di Jakarta. Seperti kesepakatan yang sudah dibuat, maka mulai sekarang Jingga akan tinggal dengan Arsen. Keduanya kini memasuki apartemen minimalis yang didominasi warna hitam dan abu-abu. Mereka berhenti di ruang tamu yang juga didominasi oleh warna yang sama. Penataan ruang tamu pun tampak minimalis dan cukup enak dipandang mata. Perabot yang ada di sana tidak berlebihan.Jingga terus mengedarkan pandangannya. Ia meneliti keseluruhan dari ruangan itu. Lalu, perhatiannya jatuh pada dua pintu yang ada di depan ruang tamu dan posisinya bersebelahan.
Kalau Jingga tidak salah tebak pasti dua ruangan itu difungsikan sebagai kamar."Ekhm!"
Suara deheman Arsen berhasil menghentikan pengembaraan Jingga. Kini gadis itu sudah menatap Arsen yang berada tepat di sebelahnya.
"Kamarnya ada dua, kan, Pak?" tanya Jingga dengan nada datar. Jelas sekali kalau Jingga belum selesai dengan aksi ngambeknya.
"Iya," jawab Arsen sama datarnya.
"Kamar Pak Arsen yang mana?" Jingga kembali bertanya.
"Yang sebelah kanan," kata Arsen sambil menatap pintu kamar sebelah kanan.
"Berarti kamar saya yang sebelah kiri," cetus Jingga, lalu bergegas ke kamar tersebut.
Sedangkan Arsen masih bertahan di posisi yang sama. Keningnya berkerut dalam seolah sedang mencerna maksud dari perkataan Jingga.
Saat Jingga hendak membuka pintu, barulah Arsen melontarkan tanya. "Jadi, kamu ingin tidur di kamar itu?"
"Iya. Kenapa, Pak?" tanya Jingga seraya menggapai gagang pintu.
"Nggak apa-apa. Barang-barangmu belum ditata dan masih ada di kamar saya. Ambil aja sendiri!" titah Arsen.
Tanpa berucap lagi, Arsen bergegas memasuki kamar. Ia meninggalkan Jingga yang tengah mengerucutkan bibir di depan pintu kamar tamu.
"Dasar nyebelin," desis Jingga.
***
Jingga yakin kalau dia sudah bangun pagi seperti biasa. Bahkan, ia juga masih sempat menyiapkan sarapan untuknya dan Arsen walau hanya nasi goreng dan telur ceplok. Tapi, hal yang kini terjadi sungguh di luar dugaan Jingga. Begitu selesai memasak nasi goreng dan menyeduh kopi, Jingga langsung menuju kamar Arsen. Ia berkali-kali mengetuk pintu berwarna hitam itu. Namun, tak kunjung mendapat respon hingga akhirnya, Jingga memberanikan diri untuk masuk kamar.
"Lho?"
Pemandangan dalam kamar itu sukses membuat Jingga tercengang. Kondisi kamar Arsen sudah rapi. Tidak ada tanda-tanda kehidupan di sana. Jingga juga tidak melihat laptop, tas kerja, dan kunci mobil Arsen. Jadi, bisa disimpulkan kalau lelaki itu sudah berangkat.
"Dia berangkat jam berapa, sih?" tanya Jingga sembari menahan kesal.
Padahal, Jingga sudah susah payah memasak sarapan untuk mereka, tapi ternyata Arsen malah berangkat lebih dulu. Arsen meninggalkannya tanpa pamit.
Rasa kesal Jingga pun membumbung tinggi. Tanpa sungkan gadis bermata bulat itu membanting pintu kamar Arsen, lalu bergegas ke dapur dan membuang nasi goreng serta telur ceplok yang sudah susah payah dimasaknya.
"Padahal, hari ini dia tau kalo gue harus ke kampus. Tujuan kita sama, tapi dia malah berangkat duluan. Nggak pamit pula," dumal Jingga.
Entah kenapa Jingga benar-benar kesal dan merasa sakit hati atas sikap Arsen. Lelaki itu terkadang bisa sangat manis, namun terkadang juga sukses membuat Jingga meradang dengan betapa dingin dan cuek sikapnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
After We Got Married
Romance"Menikahlah dengan saya, Jingga." Itu adalah kalimat paling tidak masuk akal yang pernah Jingga dengar dari orang yang juga tak pernah Jingga sangka. Tetapi, Jingga tidak bisa menolak dan tidak akan menolak karena yang sedang dia butuhkan memang seo...