34. Seumur Hidup

7.2K 518 10
                                    


Setelah selesai makan malam, Arsen pamit istirahat di kamar. Sementara Jingga harus mengerjakan beberapa tugas dadakan dari dosennya. Gadis itu memilih mengerjakan tugas di ruang tamu karena tidak ingin mengganggu istirahat Arsen.

Di atas meja sudah ada laptop dengan layar yang menampilkan tabel-tabel berisi angka. Namanya juga jurusan akuntansi. Pasti selalu berhubungan dengan angka.

Mata bulat Jingga terpatri pada angka-angka itu. Namun, terkadang otaknya sulit untuk fokus. Sebab, seringkali kejadian sore tadi menghantuinya.

Jingga mendesah lelah. Ia lantas menatap tong sampah di sudut ruang tamu. Tempat di mana ia sempat membuang paket tikus mati tadi. Namun, saat Arsen pamit istirahat, Jingga langsung membuangnya ke tempat sampah di belakang gedung apartemen. Ia takut jika tetap di biarkan di sana Arsen akan tahu.

"Tiba-tiba banget? Masa orang iseng?" gumam Jingga.

Ia menyangga dagunya dengan tangan kanan.

"Nggak mungkin iseng," kata Jingga.

Layar laptop itu kini benar-benar terabaikan karena Jingga lebih tertarik memikirkan perihal teror yang mendadak dia terima. Jelas saja Jingga heran karena ini baru pertama kali dia menerima hal tak terduga seperti itu sejak menikah dengan Arsen. Selama ini hidupnya cenderung tenang-tenang saja. Bahkan, Jingga akui hidupnya jauh lebih berwarna sejak menikah dengan Arsen. Namun, lihat apa yang sekarang baru saja terjadi? Tiba-tiba sekali dia menerima paket berisi surat ancaman.

"Oke. Stop dulu!" tegas Jingga.

Wajahnya menggeleng beberapa kali. Bermaksud mengusir riuh dalam kepalanya supaya dia bisa kembali fokus mengerjakan tugas yang tinggal beberapa nomor itu.

Detik berikutnya, gadis bersurai hitam pendek itu mulai kembali fokus. Lembar-lembar kertas dan layar laptopnya menjadi perhatian utama. Tak lagi ada pikiran-pikiran buruk yang mampir dan memecah fokusnya. Hingga akhirnya tugas dadakan yang lumayan sulit itu berhasil ia selesaikan.

Jingga langsung meregangkan tubuhnya yang terasa kaku karena terlalu lama bertahan dalam posisi yang sama.

"Akhirnya selesai," ucap Jingga lega.

Raut wajahnya terlihat sumringah. Namun, tidak demikian ketika ponselnya berdering dan menampilkan nama Bima.

Jingga berdecih pelan. "Pasti mau minta contekan," gerutunya seraya mengangkat panggilan tersebut.

"Apa?" sapa Jingga sewot.

"Jingga cantik! Contekannya, dong," rayu Bima.

"Berani juga lo godain gue. Gue bilangin mas Arsen, ya," ancam Jingga.

"Eh! Ya, janganlah! Lo mau gue diganyang laki lo? Ayolah, Ji. Sepuluh nomor aja."

"Heh gebleg! Jumlah soalnya emang 10 nomor, ya."

Bima terkekeh tak berdosa. "Ayolah, Ji. Ya? Gue benar-benar lagi nggak bisa buka laptop, nih."

Jingga memicingkan matanya meski tahu Bima tak akan bisa melihatnya.

"Emang lo lagi di mana?" tanya Jingga penuh selidik.

"Gue ... gue lagi--"

"Lo lagi di warkopnya bang Kosim, ya?" tebak Jingga.

Seketika Bima mati kutu. Dia tak bisa mengelak atau berbohong.

"Kan, gue nggak tau kalo bakal ada tugas dari pak Beni, Ji," gumam Bima.

Jingga yakin kalau sekarang sahabat sengkleknya itu sedang memasang ekspresi nelangsa.

"Ck! Ya, udah. Gue kirim setelah ini," putus Jingga.

After We Got MarriedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang