Jam yang melingkar di pergelangan tangan Jingga kini sudah menunjuk angka 7 malam. Itu berarti hampir seharian penuh waktunya hari ini ia habiskan di luar dan sebagian besar hanya untuk ngobrol ngalor-ngidul dengan Bima.Jingga menghela napas berat saat teringat akan obrolannya dengan Bima. Lebih tepatnya pada jawaban yang Bima berikan setelah ia cerita soal kejadian semalam. Hingga kini Jingga masih merasa belum puas. Seakan ada yang mengganjal di hatinya. Tapi, Jingga tidak tahu hal apa yang membuatnya merasa demikian. Otak Jingga benar-benar buntu. Tak bisa diajak berpikir sedikit lebih keras lagi.
Sekarang Jingga kembali dilanda kebimbangan. Sudah hampir 10 menit ia berdiri di depan pintu apartemen Arsen. Namun, tak kunjung ada tanda-tanda tangannya akan bergerak dan membuka pintu berwarna hitam itu.
"Ck! Gimana, nih?" tanya Jingga pada keheningan lorong apartemen.
Ia ragu untuk bergegas masuk karena takut akan bertemu Arsen. Jujur saja seharian ini Jingga sengaja berada di luar karena ingin menghindari Arsen. Entah kenapa ia tak sanggup bertemu lelaki itu usai kejadian semalam. Rasanya memalukan saja bagi Jingga untuk bertatap muka dengan Arsen.
"Nggak! Lo nggak boleh jadi penakut gini," ujar Jingga, berusaha menyemangati dirinya sendiri.
Pada kenyataannya Jingga memang bukan sosok yang penakut. Dia justru selalu berani dan tidak ragu-ragu saat akan mengutarakan pendapatnya. Jingga juga tidak mudah terpengaruh oleh orang lain. Jadi, seharusnya sekarang ia juga bisa bersikap seperti itu pada Arsen.
"Huuh. Lo pasti bisa!" tegas Jingga, lalu menempelkan ibu jari tangan kanannya pada gagang pintu yang terdapat alat deteksi sidik jari.
Apartemen Arsen memang tidak memakai sandi angka melainkan memakai sidik jari.
Begitu bunyi 'bip' terdengar pintu pun langsung terbuka. Kedua kaki Jingga melangkah pelan. Kondisi apartemen yang selalu sunyi menyambutnya didetik pertama.
Pak Arsen belum pulang? Tanya Jingga dalam hati."Dari mana?"
"Astaga!" pekik Jingga.
Arsen tiba-tiba sudah berdiri di belakang Jingga. Lelaki itu bertanya dengan suara yang terdengar datar seperti biasa.
Ketika Jingga berbalik ekspresi dingin Arsen pun langsung menyambutnya.
"Eh, Pak Arsen," gumam Jingga.
"Dari mana aja, Mara?" tanya Arsen.
"Huh?"
Sadar akan panggilan Arsen yang berbeda sontak saja Jingga bingung.
"Mara?" ulang Jingga.
"Kenapa?" Arsen balas bertanya seraya beranjak ke dapur.
Masih dipenuhi kebingungan, Jingga pun mengekori lelaki itu.
"Nama kamu Jingga Asmaranita, kan?" tanya Arsen sambil membuka kulkas dan meraih botol air mineral.
"Iya. Tapi, kan, orang-orang biasa manggil saya Jingga. Sebelumnya, Pak Arsen juga manggil saya Jingga. Kenapa sekarang tiba-tiba berubah jadi Mara?"
Gadis berkaos putih oversize berpadu dengan rok jeans sebatas paha itu terus mengoceh. Ia mengungkapkan rasa penasarannya dan seolah sudah lupa pada rasa malu yang sempat mencegahnya untuk memasuki apartemen dan bertemu Arsen.
Arsen baru selesai menuntaskan dahaganya. Tubuhnya lantas berbalik menghadap Jingga yang berdiri di depan meja makan.
"Itu orang-orang bukan saya," jawab Arsen.
"Hah?"
"Saya maunya manggil kamu, Mara," tandas Arsen.
"Kena–"
KAMU SEDANG MEMBACA
After We Got Married
Roman d'amour"Menikahlah dengan saya, Jingga." Itu adalah kalimat paling tidak masuk akal yang pernah Jingga dengar dari orang yang juga tak pernah Jingga sangka. Tetapi, Jingga tidak bisa menolak dan tidak akan menolak karena yang sedang dia butuhkan memang seo...