36. Siap Sayang!

7.1K 455 7
                                    


"Mas?"

"Mas Arsen?"

Jingga mengerucutkan bibirnya saat melihat sang suami tampak fokus menyetir. Seakan-akan tak terusik oleh suaranya yang begitu memelas.

"Mas Arsen jangan diam aja," rengek Jingga.

Arsen masih konsisten mengunci rapat bibirnya. Namun, diam-diam ia melirik Jingga. Sekedar ingin melihat seperti apa ekspresi gadis itu saat sedang mencoba membujuknya. Namun, saat itu juga Arsen menyesali perbuatannya karena netranya langsung disuguhi mimik wajah sang istri yang tampak murung. Melihat Jingga murung atau sedih adalah kelemahan terbesar Arsen. Alhasil, ia pun harus berusaha menahan diri supaya tak lekas luluh.

Sebenarnya, Arsen juga tidak ingin mengabaikan Jingga. Bahkan, sekarang bibirnya sudah gatal ingin menyahuti panggilan istrinya itu. Arsen terpaksa bersikap demikian supaya Jingga mau menceritakan apa yang jadi bahan pembicaraannya bersama Bima beberapa saat yang lalu. Dia hanya merasa kalau saat ini Jingga sedang menyembunyikan sesuatu yang seharusnya dia ketahui.

"Mas ...," panggil Jingga.

Mobil berhenti di traffic light. Namun, Arsen tak kunjung bicara.

Sadar bahwa Arsen benar-benar marah, akhirnya Jingga tak lagi mencoba untuk membujuk lelaki itu. Justru sekarang Jingga merasa agak takut. Sebab, aura yang ditularkan Arsen terasa sangat gelap.

Sembari menunggu pergantian traffic light, Arsen memijat pelipisnya. Ternyata pusing di kepalanya masih belum sepenuhnya reda.

"Mas Arsen kenapa?" cemas Jingga.

Jingga mengubah posisi duduknya jadi menghadap Arsen.

"Pusing, ya? Aduh! Mas, kan, semalam abis demam. Kenapa juga pake nyusulin saya?" oceh Jingga.

Mau tak mau Arsen akhirnya menatap gadis itu.

"Kamu nyalahin saya?" tanya Arsen dengan nada datar.

Duh! Nyali Jingga langsung menciut.

"Bukan gitu, Mas. Saya cuma khawatir Mas Arsen sakit lagi," papar Jingga.

"Cuma pusing. Nggak usah berlebihan khawatirnya," gumam Arsen.

"Mas turun. Kita tukar tempat aja. Biar saya yang nyetir," pinta Jingga.

"Nggak perlu. Saya ba--"

"Saya nggak baik-baik aja, Mas. Saya takut Mas kenapa-napa atau bahkan kita berdua yang kenapa-napa karena Mas Arsen memaksakan diri buat nyetir," tutur Jingga dengan nada bicara lebih lembut.

Dilihat dari kilat matanya sudah sangat jelas kalau Jingga benar-benar khawatir pada dosen sekaligus suaminya itu. Jingga jelas masih ingat betapa panas suhu tubuh Arsen semalam. Jadi, jelas dia tidak sepenuhnya percaya kalau Arsen sudah benar-benar sembuh.

"Mas ...," bujuk Jingga.

Arsen menarik napas pelan. Ia mengalah dan turun dari mobil begitu juga dengan Jingga.

Tepat saat mereka sudah berada di posisi masing-masing lampu hijau pun menyala. Segera Jingga melajukan mobil mewah sang suami.

"Mas Arsen tidur aja. Nanti kalo udah sampai saya bangunin," kata Jingga.

"Nggak bisa. Saya nggak akan bisa tidur sebelum kamu jujur sama saya," tandas Arsen.

Rupanya Arsen masih belum melupakan kejadian di kafe tadi. Tabiat keras kepalanya pun membuatnya kembali menuntut penjelasan pada Jingga.

"Nggak ada yang perlu dijelasin, Mas," dusta Jingga.

"Jangan bohong, Mara. Saya nggak suka sama orang yang tukang bohong."

After We Got MarriedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang