Suasana ruang rawat kini terasa hangat dan hidup karena keberadaan Santi bersama Widodo serta Maya dan Sandi.
Santi sudah berada di rumah sakit sejak pagi sementara Widodo menyusul sore tadi. Sedangkan Maya dan Sandi baru datang sekitar 2 jam yang lalu. Mertua dari Jingga itu baru bisa datang karena terhalang oleh pekerjaan. Keduanya juga sempat meminta maaf beberapa kali karena terkesan tidak peduli terhadap kondisi Dirga yang kini juga sudah resmi jadi besan mereka. Namun, Dirga yang juga mantan pebisnis pun paham akan ritme keseharian mereka.
Kini semua orang sedang menghabiskan waktu bersama. Jingga dan Maya sedang mengupas buah di sofa panjang dekat meja. Sandi dan Widodo sedang keluar untuk membeli. Sementara Santi tampak duduk di kursi dekat ranjang sang kakak, Dirga.
"Mama dengar kemarin seharusnya kamu berangkat ke Inggris, ya?" Maya kembali memulai obrolan yang sempat terjeda beberapa saat yang lalu.
Diingatkan pada hal itu sontak saja Jingga menghentikan aktivitasnya dalam mengupas apel. Ia tertegun kala memikirkan bagaimana kini nasib program pertukaran mahasiswa yang sudah lama ia persiapkan itu. Jika ditanya sedih atau tidak sudah pasti Jingga merasa sedih karena batal berangkat. Tetapi, ia tak bisa benar-benar menampakkan kesedihannya karena nanti Dirga pasti akan kepikiran.
Berusaha tersenyum lebar, Jingga lantas berkata, "Mungkin belum rejeki aku tan–eh, Ma."
Gadis berpipi tembam itu nyengir tak enak tatkala hampir kembali memanggil Maya dengan sebutan Tante. Ia belum terbiasa saat harus memanggil wanita itu dengan sebutan Mama.
Mendengar jawaban Jingga serta cengiran polos di wajah gadis itu, Maya pun meletakkan jeruk dalam genggamannya. Ia beralih mengelus lembut surai pendek Jingga. Tatapan wanita itu teramat teduh dan hangat. Sejenak, mengingatkan Jingga pada tatapan Arsen yang ia lihat pagi tadi. Sekarang Jingga akhirnya tahu dari siapa Arsen mewarisi sorot teduh dan hangat itu. Ternyata semua itu Arsen dapat dari sang Mama, Maya.
"Arsen benar-benar beruntung bisa mendapatkan istri sesempurna kamu, Jingga," puji Maya dengan tulus. Tak ada kebohongan yang terpancar di mata Maya.
Mendengar pujian tersebut, Jingga hanya bisa menampilkan senyum malu-malu. Karena sejujurnya ia bingung harus bagaimana menanggapinya.
Perbincangan keduanya terinterupsi oleh suara pintu yang terbuka. Jingga kira yang datang adalah Widodo dan Sandi, namun ternyata bukan. Sosok yang berdiri di depan pintu itu tidak lain ialah Arsen, suaminya.
"Arsen?" panggil Maya, lalu berdiri menghampiri sang putra.
Jingga juga ikut berdiri pun menghampiri lelaki itu.
"Ma, udah lama?" tanya Arsen setelah mencium punggung tangan Maya.
"Baru sore tadi," jawab Maya.
Rekahan senyum di wajah Maya kian tampak ketika melihat Jingga yang sedang mencium punggung tangan Arsen. Dalam hati, ia pun memuji sikap Jingga. Benar-benar definisi gadis sopan dan berpendidikan. Yang lebih membuat Maya bahagia adalah kenyataan bahwa gadis sopan dan berpendidikan itu sekarang sudah jadi menantunya, bagian dari keluarganya.
Lain lagi dengan Arsen yang tampak terkejut melihat sikap Jingga. Sepertinya, lelaki itu tidak pernah memprediksi kalau Jingga akan cepat beradaptasi.
Arsen lantas menghampiri Dirga dan Santi, lalu mencium tangan keduanya secara bergantian.
"Gimana kondisi Ayah?" tanya Arsen. Ia bertanya karena benar-benar peduli bukan semata-mata basa-basi.
"Sudah lebih baik, Nak," jawab Dirga sambil tersenyum tipis.
Arsen terlibat obrolan dengan Santi, Dirga juga Maya selama beberapa saat sebelum akhirnya beralih fokus pada Jingga yang sedang membereskan sampah kulit buah di atas meja.
KAMU SEDANG MEMBACA
After We Got Married
Romance"Menikahlah dengan saya, Jingga." Itu adalah kalimat paling tidak masuk akal yang pernah Jingga dengar dari orang yang juga tak pernah Jingga sangka. Tetapi, Jingga tidak bisa menolak dan tidak akan menolak karena yang sedang dia butuhkan memang seo...