Jarum jam sudah berada di angka 8 malam ketika Jingga tiba di depan pintu apartemennya. Dia tidak langsung masuk melainkan termenung di sana selama beberapa detik.Tiba-tiba saja perasaan gadis itu tak nyaman. Seolah menandakan akan terjadi sesuatu. Tapi, apa yang akan terjadi? Sedikitpun Jingga tidak bisa menebaknya. Atau mungkin ini hanya efek samping karena tubuh dan mentalnya yang hari ini terlalu lelah?
"Mas Arsen udah pulang belum, ya?" gumam Jingga seraya memegang gagang pintu.
Sedikit banyak dia takut akan bertemu Arsen dan diinterogasi oleh lelaki itu karena baru pulang saat sudah malam begini. Bukan tanpa alasan Jingga baru kembali sekarang. Dia terpaksa singgah di minimarket depan apartemen dan membeli es untuk mengompres matanya yang bengkak gara-gara terlalu lama menangis. Bagaimanapun juga Jingga tak ingin membuat Arsen yang sudah lelah bekerja harus khawatir karena kondisinya. Sekarang Jingga cuma bisa berharap semoga Arsen tidak menginterogasi apalagi marah padanya.
Jingga menarik napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan. Kini, gadis itu mencoba untuk tetap tenang di tengah detak jantungnya yang tak beraturan.
Bunyi pintu terbuka terasa agak mencekam. Mungkin, karena suasana apartemen yang sunyi nyaris seperti tak berpenghuni.
Sembari celingukan ke kanan-kiri, Jingga pun melangkah masuk.
"Dari mana aja?"
"Astaga!"
Gadis itu terpekik kaget saat Arsen tiba-tiba muncul di belakangnya. Sepertinya, lelaki itu baru saja dari dapur.
"Ma-Mas Arsen? Ngagetin aja," ucap Jingga agak gugup.
"Saya tanya dari mana aja, Mara? Kenapa jam segini baru pulang?" ulang Arsen dengan nada tajam.
"Itu ... saya abis ...."
Mampuslah. Batin Jingga.
Jingga yang tidak pernah berbohong tiba-tiba harus mencoba untuk membohongi Arsen demi menjaga ketentraman apartemen mereka malam ini. Namun, ternyata berbohong itu tidak mudah. Alhasil, sekarang dia malah jadi seperti balita yang baru belajar bicara. Menyedihkan sekali.
"Saya ... abis ketemu teman, Mas," ucap Jingga.
Bola mata gadis itu bergulir ke sembarang arah. Jelas sekali ia ingin menghindar dari tatapan Arsen demi mencegah kebohongannya terbongkar.
Tiba-tiba saja Arsen malah berpindah ke ruang tamu. Lelaki yang masih memakai setelan kerja itu duduk di sofa sementara Jingga berdiri di sisi kanannya. Entah kenapa gadis itu tak ingin duduk. Firasatnya mengatakan kalau saat ini dia tidak seharusnya duduk.
"Mas Arsen udah makan? Mau saya masakin sesuatu?" tawar Jingga.
Tidak ada jawaban dari Arsen. Pemilik netra hitam pekat itu malah mengeluarkan ponselnya dari saku celana. Ia mengotak-atiknya sebentar. Lalu, meletakkan benda pipih itu di atas meja dengan kondisi layar menyala dan menampilkan sebuah foto.
"Ini yang kamu maksud ketemu teman?" Arsen bertanya sambil memandang tajam gadisnya.
Mata jernih Jingga secara otomatis melabuhkan fokus pada foto di ponsel Arsen. Pupilnya melebar tanpa diminta tatkala mendapati ternyata dirinya dan Bima yang ada di foto itu.
"Mas, saya bisa jelasin," ucap Jingga dengan suara parau.
Seraya berdiri, Arsen bertanya, "Apa yang mau kamu jelaskan?"
"Saya ... i-itu nggak seperti yang Mas pikirkan. Saya sama Bima--"
"Saya tau kamu dan Bima sudah lama berteman. Kalian sudah dekat dan saling kenal sebelum saya hadir. Tapi ... nggak seharusnya kamu berbuat seperti ini, Mara. Kamu harusnya ingat ...."
KAMU SEDANG MEMBACA
After We Got Married
Storie d'amore"Menikahlah dengan saya, Jingga." Itu adalah kalimat paling tidak masuk akal yang pernah Jingga dengar dari orang yang juga tak pernah Jingga sangka. Tetapi, Jingga tidak bisa menolak dan tidak akan menolak karena yang sedang dia butuhkan memang seo...