3. Ayah!

14.5K 858 4
                                    


"Menikahlah dengan saya, Jingga."

Semua orang mematung sempurna kala kalimat itu terlontar dari bibir lelaki tinggi serta bersurai hitam legam dengan bola mata sekelam langit malam itu. Hanya melihat dari raut wajahnya semua orang tahu kalau lelaki itu tidak sedang becanda. Dan, Jingga pun berpikir demikian.

"Arsen!" pekik Maya tiba-tiba. Wanita itu langsung menghambur memeluk Arsen.

"Akhirnya kamu datang juga, Nak!" seru Maya.

Setelah sempat terkejut oleh pernyataan Arsen, kini Maya justru terlihat begitu bahagia menyambut kedatangan Arsen. Maya menuntun Arsen menuju brankar Dirga. Di posisi yang sama, Jingga terlihat masih belum sadar dari rasa terkejutnya. Bola matanya yang sembab dan agak bengkak, kini tengah menatap sosok Arsen yang ada di depannya.
Jingga ingat dia pernah melihat lelaki itu. Tidak. Tidak hanya pernah, tapi sering. Pak Arsen?! Jingga memekik dalam hati tatkala sudah benar-benar tahu siapa sosok Arsen ini.

"Dirga, ini Arsen. Kamu pasti ingat, kan? Ini anakku," ungkap Maya.

Dirga yang kondisinya masih lemah hanya mampu tersenyum.

"Jadi … kamu mau menikah dengan … anak Om?" tanya Dirga.

Detik itu juga, akhirnya Jingga tersadar dari segala pelik yang menguasai benaknya. Ia beralih menatap sang Ayah. Mulutnya ingin mengeluarkan kata-kata protes, tetapi tak sempat terealisasikan karena Arsen sudah lebih dulu membuka suara.

"Saya bersedia menikah dengan Jingga, Om," ucap Arsen tegas dan lugas.

“Kamu yakin?” Sandi selaku ayah dari lelaki bertubuh tinggi atletis itu akhirnya buka suara. Hendak memastikan perkataan sang putra.

Arsen memandang Sandi pun berkata, "Aku yakin, Pa."

Oh, Tuhan! Kenapa jadi begini? Kenapa seperti ini?

Jingga benar-benar tidak tahu harus bereaksi seperti apa atas kejadian ini. Tidak. Lebih tepatnya ia belum benar-benar menunjukkan reaksinya. Tetapi, lelaki yang baru datang itu sudah membantu Jingga untuk memutuskan semuanya. Seolah-olah Jingga tidak punya pilihan.

Tapi, aku emang nggak punya pilihan, kan? Batin Jingga.

***

Hanya dalam kurun waktu satu hari segalanya terasa seperti tak nyata bagi Jingga. Sulit untuk Jingga mengerti dan percaya kalau setelah ini ia akan benar-benar menjadi istri dari seorang lelaki yang bahkan hanya Jingga kenal sebatas nama saja.

Arsenio Adhyastha Hendrawan, Jingga tahu nama itu dan sering mendengarnya dari teman-teman kampus. Arsen adalah salah satu dosen yang mengajar di Universitas Mahatma. Kebetulan sekali Arsen juga adalah dosen di prodi akuntansi. Dan, jika kemarin ia tidak mengikuti program pertukaran mahasiswa seharusnya semester ini Jingga juga akan menempuh mata kuliah yang diampu oleh Arsen, mata kuliah Akuntansi Forensik.

Gila! Jingga ingin sekali menolak takdirnya. Takdir yang memaksa dirinya untuk menikah dan melakoni bahtera rumah tangga dengan dosennya sendiri. Jika semua ini benar-benar terjadi akan seperti apa kehidupan Jingga ke depannya? Entahlah. Kini semua terlihat begitu abu-abu untuk Jingga.

"Saya nikahkan dan saya kawinkan engkau ananda Arsenio Adhyastha Hendrawan bin Sandi Pramono Hendrawan dengan ananda Jingga Asmaranita binti Dirga Abisheva dengan mas kawin seperangkat alat sholat, tunai."

Pikiran Jingga semakin tak mampu menemui kewarasannya kala penghulu baru saja menuturkan ijab kabul sembari menjabat erat tangan Arsen di hadapan sang ayah yang sebentar lagi akan memasuki ruang operasi.

Jantung Jingga terasa kebat-kebit melihat Arsen yang tampak tidak goyah meski dalam situasi konyol seperti ini. Dalam hati, Jingga bahkan bertanya-tanya tentang apa yang ada dalam otak Arsen hingga mau menceburkan diri ke dalam situasi konyol ini. Apakah Arsen kasihan padanya? Arsen tidak tega ketika melihatnya kebingungan setelah mendengar permintaan Dirga?

"Saya terima nikah dan kawinnya Jingga Asmaranita binti Dirga Abisheva dengan mas kawin tersebut, tunai."
 
Dan, segala tanya dalam benak Jingga melebur tak bersisa begitu Arsen merapalkan ijab kabul dengan sangat lancar, tegas dan lugas.

"Bagaimana para saksi? Sah?"

Langsung saja seluruh manusia yang ada dalam ruang bernuansa putih itu menyahut ‘sah’ secara bersamaan. Menandakan bahwa kini Jingga dan Arsen sudah resmi menjadi suami istri.

Aku nggak lagi mimpi, kan? Batin Jingga.

Kemarin Jingga masih tertawa-tawa dan mengobrol bersama sahabatnya, Bima. Kemarin Jingga masih bersikeras menolak saran Bima untuk mencari pacar karena menurutnya romansa diusianya sekarang hanya berpotensi mengganggu fokusnya dalam mencapai goals dalam hidupnya. Tetapi, kini lihatlah! Jingga Asmaranita telah resmi menyematkan marga Hendrawan di belakang namanya. Lucu sekali. Saking lucunya Jingga sampai tak bisa tertawa.

Sementara Dirga, kini tersenyum lega dan bersyukur karena bisa melihat putri semata wayangnya menikah dengan lelaki yang Dirga yakin akan mampu menggantikan perannya dalam menjaga Jingga.
Dirga yakin Arsen akan mampu memberikan segala sesuatu yang lebih dari apa yang telah ia berikan pada putri kecilnya itu.

Prosesi ijab kabul benar-benar telah selesai. Jingga dan Arsen yang duduk berdampingan, kini saling menatap.

Otak Jingga mendadak kosong setelah melihat betapa kelam bola mata Arsen. Betapa penuh misterinya bola mata yang amat memikat itu. Namun, beruntung tak seperti Jingga, Arsen cepat menguasai diri. Ia mengulurkan tangannya yang disambut ragu-ragu oleh Jingga.

Gadis itu mencium punggung tangan Arsen diiringi perasaan yang tak karuan. Apa lagi ketika merasakan kecupan lembut yang mendarat di keningnya. Jingga benar-benar sepenuhnya linglung.

Di depan Dirga dan seluruh saksi dalam ruangan itu, Arsen baru saja mengecup keningnya. Arsen yang bahkan tak pernah bertegur sapa dengan Jingga ketika tak sengaja berpapasan di fakultas itu baru saja melakukan skinsip manis dengan Jingga.

Gelenyar aneh terasa menjalari hati Jingga. Menghantarkan kesan asing yang justru terasa menyenangkan untuk Jingga. Pelan-pelan relung hatinya diselimuti oleh kehangatan yang berbeda. Kehangatan yang sedikit mampu melebur rasa cemas dan khawatirnya terhadap kondisi sang ayah.

“Mas Dirga? Mas? Mas Dirga?!”

Teriakan panik dari Santi disusul suara nyaring dari monitor jantung akhirnya menghempaskan seluruh euphoria yang Jingga rasakan.

“Ayah!” raung Jingga seraya berdiri, menghambur pada sang ayah.

Jingga melihatnya. Jingga melihat kedua mata ayahnya terpejam. Wajahnya pucat pasi dan bibirnya tak lagi menampilkan senyum seperti beberapa saat yang lalu.

Tidak. Jingga tidak akan pernah sanggup jika kemungkinan paling buruk itu terjadi. Dunia Jingga akan runtuh jika Dirga pergi.

Ayah, jangan tinggalin Jingga! Raung Jingga dalam hati.



***

Vote dan komen, guys!
Oh, iya. Di cerita kali ini aku nggak akan kasih visual untuk para pemerannya, ya.
Pokoknya aku bebasin kalian untuk berimajinasi dan membayangkan siapa sosok yang cocok sebagai Arsen dan Jingga. Hehehe.

After We Got MarriedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang