Waktu baru menginjak pukul 10 pagi ketika Arsen tiba di kediaman Dirga yang ada di Bandung. Kini, lelaki itu sudah berhadapan di kursi teras dengan sang ayah mertua. Tak perlu ditanya bagaimana perasaan Arsen saat ini. Sebab, jawabannya sudah pasti tak jauh beda dengan kemarin. Apalagi saat sedari tadi ia tak melihat keberadaan Jingga di rumah bernuansa asri itu.
"Apa kabar, Arsen?" Dirga bertanya setelah menyeruput teh di cangkirnya.
"Baik, Yah. Ayah gimana? Maaf, ya, Arsen nggak pernah berkunjung," sesal Arsen.
Lelaki paruh baya itu tersenyum, lalu menepuk santai bahu menantunya. "Nggak apa-apa. Ayah tau kamu dan Jingga sibuk. Yang penting bagi Ayah adalah kalian berdua sehat-sehat dan bahagia."
Arsen hanya bisa memaksakan senyumnya ketika Dirga menyebut kata bahagia. Ia sadar sepenuhnya bahwa akhir-akhir ini ia telah gagal membahagiakan Jingga. Ia bahkan telah menyakiti hati gadis itu dan membiarkannya menanggung ketakutan sendirian.
"Arsen? Arsen?"
Suara Dirga bergaung di telinga Arsen. Akhirnya, membuat seluruh riuh dalam benaknya tersisihkan untuk sejenak.
"Ayah, saya ...."
Tiba-tiba saja tenggorokan Arsen terasa seperti terhalang batu besar. Kata demi kata yang sudah ia susun sedemikian rupa tak satupun yang mampu ia ucapkan.
"Ada apa, Sen? Bilang aja," pinta Dirga dengan sabar.
"Terjadi sesuatu sama kamu dan Jingga?" terka Dirga.
Kepala Arsen tertunduk dalam. Seluruh rasa percaya dirinya luruh tak bersisa. Hanya sesal dan rasa bersalah yang kini mendominasi dirinya.
"Mara ... apa dia nggak pernah menghubungi Ayah?" tanya Arsen dengan suara pelan.
Segera Dirga memperbaiki posisi duduknya menjadi lebih tegak. Suasana santai yang semula sudah terjalin pun mendadak berubah menjadi begitu tegang.
"Maksud kamu apa, Arsen? Jingga sudah hampir satu minggu nggak menghubungi Ayah. Ayah kira Jingga lagi sibuk sama kuliahnya. Kenapa? Ada masalah apa?" cemas Dirga.
"Ayah jangan panik! Saya sama Jingga cuma ada sedikit selisih paham!" sergah Arsen, takut Dirga akan terguncang dan mempengaruhi kondisi jantungnya.
Terlihat Dirga yang berusaha mengendalikan diri. Lelaki itu beberapa kali menarik napas untuk kembali mendapatkan ketenangan. Walaupun kenyataannya sulit untuk tetap tenang saat ia tahu saat ini putrinya pergi dari rumah suaminya.
"Maaf, Ayah," sesal Arsen.
"Tadinya saya datang ke sini untuk bertemu Mara dan menyelesaikan masalah di antara kami. Tapi ... ternyata Mara nggak ada di sini," lanjut Arsen.
Dirga mengusap kasar wajahnya. "Apa yang sebenarnya terjadi, Arsen? Kamu pasti tau, kan, Jingga bukan tipe orang yang akan dengan mudah menghindari masalah? Dia nggak akan pergi gitu aja tanpa ada alasan yang kuat."
Dalam hati, Arsen membenarkan perkataan Dirga. Jingga memang gadis yang selalu berpikir rasional dan dewasa. Bahkan, terkadang dia bisa lebih dewasa daripada Arsen yang selalu dikalahkan oleh cemburunya yang berlebihan.
"Semua salah Arsen, Yah," jawab Arsen putus asa.
"Kalo kamu tau kamu melakukan kesalahan seharusnya kamu segera mencari Jingga dan memperbaiki kesalahanmu," papar Dirga. Nada bicaranya terdengar dipenuhi kecewa.
"Maaf, Ayah."
"Kamu tau? Ayah benar-benar percaya sama kamu Arsen. Sejak saat kamu mendatangi Ayah untuk kali pertama dan meminta restu Ayah untuk mendekati Jingga, Ayah benar-benar percaya kamu akan menjaga dan membahagiakan Jingga. Tapi, kenapa sekarang malah hal seperti ini yang harus Ayah dengar dari kamu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
After We Got Married
Romance"Menikahlah dengan saya, Jingga." Itu adalah kalimat paling tidak masuk akal yang pernah Jingga dengar dari orang yang juga tak pernah Jingga sangka. Tetapi, Jingga tidak bisa menolak dan tidak akan menolak karena yang sedang dia butuhkan memang seo...