"Mara!"Dunia Arsen runtuh. Hatinya tak akan kembali utuh.
Di hadapannya, gadis itu terduduk dengan kepala bersimbah darah. Sementara bunyi memilukan di bawah sana menyusul beberapa detik kemudian.
"Nagita? Nagita!" teriak Hakan.
Lelaki itu menghampiri balkon. Kepalanya menunduk pun menatap tubuh Nagita yang telah tergeletak di atas tanah. Sudah bisa dipastikan kalau perempuan itu tak bisa diselamatkan.
Perhatian Hakan kembali pada Arsen yang kini tengah memeluk Jingga. Pandangannya begitu gelap oleh kebencian dan dendam.
"Kalian berdua ...," desis Hakan.
"Jangan bergerak!"
Sayang sekali, polisi datang saat malapetaka terlanjur terjadi. Satu nyawa telah menghilang dari raga.
Hakan dan dua lainnya diringkus polisi. Sementara Jingga sudah tak sadarkan diri sejak menyadari Nagita telah jatuh dari lantai 20. Gadis itu pingsan karena kehilangan banyak darah dan mengalami syok atas apa yang baru terjadi tepat di depannya.
"Mara ... jangan tinggalkan saya."
Arsen memohon dengan begitu putus asa. Tak sedetik pun ia melepaskan tangannya dari Jingga. Tak sedetik pun ia memalingkan pandangan dari gadis yang kini berada dalam mobil ambulan itu.
Arsen takut semua akan berubah menjadi lebih buruk saat ia lengah sebentar saja. Arsen takut Tuhan akan merampas Jingga darinya dengan tiba-tiba. Tanpa membiarkan mereka saling bicara untuk beberapa detik saja. Arsen takut. Arsen sungguh takut kehilangan Jingga.
***
Tidak ada hal apapun yang Arsen lakukan selain duduk dan memandang wajah penuh luka istrinya. Sejak kemarin hingga hari ini Arsen belum beranjak untuk sekedar memberi asupan air pada tenggorokannya yang kering bagaikan tanah tandus.
Netranya yang lelah, kini menyiratkan kesedihan dan kesakitan. Sakit karena melihat bagaimana wajah mungil itu kini dipenuhi lebam dan luka gores. Pelipis yang dijahit, sudut bibir robek dan kedua pipi serta dahi lebam. Tak hanya itu, jejak pisau juga tertinggal di leher Jingga. Memang hanya goresan kecil, tetapi darah yang keluar pun tak bisa disepelekan. Buktinya kini luka itu juga dibalut perban. Buku-buku jari Jingga juga dibalut perban. Dokter sempat mengatakan bahwa luka-luka itu kemungkinan besar akibat injakan dan gesekan dengan lantai berpasir.
Cairan bening kembali meluruh, membasahi wajah Arsen. Ia kini menjadi laki-laki paling cengeng. Ia menangis karena mengingat betapa besar rasa sakit yang harus Jingga tanggung sendirian. Betapa besar rasa takut yang menghantui gadis itu ketika disiksa oleh para monster itu.
"Maaf. Maafin saya, Mara," ratap Arsen.
Diraihnya tangan Jingga dengan hati-hati. Lalu, ia kecup dalam-dalam.
"Arsen?"
Mata sembab Arsen segera mematut atensi pada Dirga yang ada di hadapannya. Napasnya terhela lega saat melihat kondisi sang Ayah mertua baik-baik saja. Ini memang kali kedua Arsen bertemu Dirga setelah insiden kemarin. Namun, ia tetap merasa lega ketika tahu Dirga baik-baik saja.
"Iya, Yah?" Suara Arsen terdengar serak.
Dirga menarik napas pelan. Ia lantas duduk di kursi sebelah kanan Jingga.
"Sebaiknya kamu pulang dulu. Mandi dan ganti bajumu. Setelah itu, kamu bisa ke sini lagi," usul Dirga.
Seketika Arsen meneliti penampilannya. Ternyata dia masih memakai kemeja dan celana yang kemarin.
"Ayah, sa--"
"Pulang, Arsen! Jingga nggak akan suka kalo melihat kamu yang seperti ini," desak Dirga.
Sebenarnya, Arsen ingin kembali membantah. Namun, akhirnya ia mengalah. Kata-kata Dirga sedikit banyak mampu mempengaruhi Arsen. Sekarang ia jadi berpikir dan membayangkan bagaimana raut wajah Jingga saat bangun nanti dan melihatnya yang kumal nyaris seperti gembel begini. Pasti Jingga akan risih, kan? Istrinya bisa saja mendadak ilfill. Benar, kan?
"Kalo gitu Arsen pulang dulu, Yah," pamit Arsen.
Dirga mengangguk pelan. "Hati-hati."
***
Niat awal Arsen adalah pulang untuk mandi dan mengganti bajunya. Setelah itu, dia akan kembali ke rumah sakit untuk menemani Jingga. Namun, rencananya mendadak berubah ketika tiba-tiba Lucky menjemputnya di apartemen.
"Mbak Nagita dimakamkan satu jam lagi." Begitulah kata Lucky.
Lantas, di sinilah Arsen berpijak. Di atas tanah basah dengan orang-orang berpakaian serba hitam.
Tak jauh darinya, Sandi dan Maya sedang menaburkan bunga di atas pusara putri sulungnya. Air mata Maya masih terus mengalir. Tidak dapat dihentikan begitu saja.
Arsen akan sangat memaklumi kedua orang tuanya. Ia tahu lebih dari siapapun betapa mereka sangat menyayangi Nagita. Bagi mereka Nagita adalah anugerah. Nagita sama berharganya dengan dirinya.
Sayang sekali, hingga saat-saat terakhir, Nagita tak menyadari betapa besar kasih sayang Sandi dan Maya padanya."Arsen," panggil Maya.
Para pelayat sudah meninggalkan pemakaman. Di sana tersisa Arsen bersama Sandi dan Maya saja.
Arsen pun mendekat pada kedua orang tuanya yang masih duduk di depan pusara Nagita.
"Maafkan kakakmu. Jangan membebani langkahnya. Mama mohon, Nak." Maya memohon dengan putus asa.
"Iya, Ma," jawab Arsen singkat.
Arsen sedang mencoba. Dia sedang sangat mencoba untuk memaafkan perbuatan Nagita agar langkah perempuan itu tak terhambat. Namun, seringkali benaknya dihampiri oleh bayangan ketika Jingga disiksa dengan begitu kejam oleh perempuan itu. Bayangan-bayangan ketika Jingga nyaris meregang nyawa karena kehilangan banyak darah. Tidak semudah itu bagi Arsen untuk mengenyahkan kebencian dan kemarahannya pada Nagita.
"Mbak Gita nggak usah nangis. Nggak usah takut. Kalo ada yang gangguin lagi bilang aja sama Arsen. Nanti biar Arsen hajar dia sampai babak belur. Kalo perlu sampai nggak bisa jalan lagi."
"Nggak usah sok jagoan kamu. Kamu, tuh, masih kecil."
"Siapa bilang? Lihat! Aku udah gede, Mbak. Aku udah SMA. Aku bisa ngelawan orang-orang yang ganggu Mbak Gita."
"Kenapa juga kamu harus ngelawan orang-orang yang ganggu aku?"
"Karena aku sayang sama Mbak Gita."
Kenangan masa itu tiba-tiba terputar bagai kaset film dalam kepala Arsen. Awal dari perubahan yang terjadi pada hubungannya dan Nagita. Pada kasih sayang murninya untuk perempuan itu. Semua berubah dan rusak disaat yang bersamaan karena Nagita salah mengartikan ungkapan sayangnya. Saat Arsen mencoba menjelaskan justru perempuan itu mengelak dari kenyataan. Hatinya terlanjur dinaungi obsesi yang mengerikan.
Arsen memejamkan mata. Berusaha meluruhkan kebenciannya pada Nagita.
Selamat tinggal, mbak. Arsen sayang sama mbak Gita.
***
Spam komen seperti biasaaaaah!
Jangan lupa baca cerita baruku juga, ya. Judulnya, "Broken Pieces, Unbroken Bonds"
KAMU SEDANG MEMBACA
After We Got Married
Romance"Menikahlah dengan saya, Jingga." Itu adalah kalimat paling tidak masuk akal yang pernah Jingga dengar dari orang yang juga tak pernah Jingga sangka. Tetapi, Jingga tidak bisa menolak dan tidak akan menolak karena yang sedang dia butuhkan memang seo...