Setelah seminggu dirawat di rumah sakit dan menjalani pemulihan dengan pemantauan dokter Adam, akhirnya hari ini Dirga sudah diizinkan pulang ke rumah. Lelaki paruh baya itupun sudah tak sabar untuk segera tiba di rumahnya karena demi apapun menghabiskan waktu seminggu di rumah sakit benar-benar berhasil membuatnya bosan dan serasa diteror oleh bau obat-obatan. Sementara Jingga bersyukur karena akhirnya sang Ayah dinyatakan sembuh.
Sebentar lagi mereka akan meninggalkan rumah sakit. Hanya tinggal menunggu Arsen yang tadi pamit keluar untuk mengurus administrasi. Sedangkan Jingga tengah mengemasi barang-barang Ayah juga suaminya.
"Jingga?" panggil Dirga yang tengah duduk di tepi ranjang rawat. Posisinya menghadap jendela.
"Ya? Kenapa, Yah?" tanya Jingga tanpa menghentikan aktivitasnya dalam memasukkan baju dan alat-alat lain milik Arsen.
Lelaki paruh baya yang sudah memakai kemeja rapi berwarna navy itu berbalik menghadap sang putri.
"Jadi, apa keputusanmu, Nak?" tanya Dirga.
"Maksud, Ayah?" Jingga balas bertanya tidak mengerti.
Dirga tersenyum lembut. "Apapun keputusanmu, Ayah berharap itu nggak akan melukai perasaan Arsen. Sekarang ... kamu harus ingat, Jingga. Kamu bukan lagi gadis lajang. Kamu sudah punya suami, jadi tindakan apapun dan keputusan apapun yang ingin kamu ambil ...."
Dirga menghentikan sejenak kata-katanya. Ia menghampiri Jingga yang kini berdiri termangu.
" ... kamu harus memikirkan perasaan Arsen juga. Kamu juga harus meminta persetujuan dia. Karena sekarang Arsen yang bertanggung jawab atas kamu. Arsen suamimu," imbuh Dirga selembut mungkin agar Jingga mengerti dan tidak tersinggung.
Jingga hanya mengangguk saja, namun otaknya masih mencerna setiap petuah yang diberikan oleh sang Ayah. Jingga juga akhirnya teringat pada kelonggaran waktu yang diberikan oleh kaprodi tentang keberangkatannya menuju Inggris. Dan, seharusnya hari ini dia sudah harus memberikan keputusannya.
"Ayah? Jingga?"
Suara berat Arsen berhasil mengembalikan kesadaran Jingga.
Gadis itupun berbalik menghadap Arsen."Udah semua? Atau ada yang perlu saya bantu?" tanya Arsen.
"Nggak ada, Pak," jawab Jingga agak linglung.
Arsen terlihat heran, namun ia putuskan untuk tidak bertanya karena di sana masih ada Dirga.
"Ya, udah. Kalo gitu kita pulang sekarang. Barang-barangnya biar saya bawa. Kamu dan Ayah tinggal tunggu di depan," ujar Arsen panjang lebar.
Kemudian tanpa mengindahkan protes Jingga, lelaki itu lekas membawa seluruh barang yang sudah Jingga bereskan.
Bibir Jingga mengerucut lucu ketika melihat Arsen melenggang pergi bersama tas-tas besar dan beberapa barang lainnya.
"Laki-laki memang seperti itu, Jingga," ujar Dirga tiba-tiba.
Wajah Jingga menoleh pada sang Ayah.
"Seperti itu gimana, Yah?" tanya Jingga yang memang murni tak mengerti.
Lagipula dia, kan, perempuan. Jadi, mana mungkin dia tahu seluk beluk tentang laki-laki.
Bibir Dirga tersenyum lebar, lalu berkata, "Laki-laki yang baik dan bertanggung jawab pasti nggak akan mau melihat perempuan yang dia cintai kesusahan."
Perempuan? Yang dicintai? Apa itu berarti Arsen mencintainya? Apa boleh Jingga berharap demikian? Ah, entahlah. Sekarang semua masih terlihat abu-abu untuk Jingga. Perasaannya pada Arsen pun masih sama abu-abunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
After We Got Married
Romance"Menikahlah dengan saya, Jingga." Itu adalah kalimat paling tidak masuk akal yang pernah Jingga dengar dari orang yang juga tak pernah Jingga sangka. Tetapi, Jingga tidak bisa menolak dan tidak akan menolak karena yang sedang dia butuhkan memang seo...