Arsen duduk berhadapan dengan gadis yang tadi ia panggil Nagita. Raut wajah lelaki masih sama. Masih tampak tegang dengan netra yang dipenuhi amarah. Berbeda dengan Nagita yang kini tampak santai. Sesekali gadis yang hanya 2 tahun lebih tua dari Arsen itu meneliti kondisi ruang tamu apartemen Arsen."Mau apa kamu ke sini?" tanya Arsen setelah cukup lama terdiam.
Nagita tersenyum miring. "Nggak usah tegang gitu. Aku cuma mau kenalan sama 'adik ipar' aku," ujar Nagita sembari memberi penekanan pada kata 'adik ipar'.
"Kenalan? Dari tutur katamu tadi saya nggak bisa menyimpulkan kalo kamu mau kenalan dengan istri saya. Kamu malah merendahkan dia," balas Arsen dengan cara bicara formalnya.
Di tempatnya, Nagita tampak terganggu. Gadis itu menggigit bibir bawahnya guna menahan desakan amarah yang datang dengan sukarela karena mendengar cara bicara Arsen padanya. Mereka masih berstatus saudara. Nagita juga masih menyandang marga Hendrawan di belakang namanya, namun cara Arsen memperlakukan gadis itu sangat berbeda. Arsen bersikap seolah-olah Nagita adalah orang asing.
"Gimanapun juga aku masih kakak kamu, Arsen," ungkap Nagita dengan nada rendah.
"Kalo kamu merasa begitu tunjukkan dengan tindakan. Jangan cuma sebatas kata-kata," balas Arsen.
"Tapi aku–"
"Mas Arsen?"
Nagita yang nyaris marah harus kembali mengatupkan bibirnya kala mendengar suara Jingga.
Dengan cepat gadis itu menoleh begitu pula Arsen."Kenapa, Mara?" tanya Arsen seraya menghampiri Jingga yang berdiri di depan pintu kamar mereka.
"Kamu ngga lihat saya masih bicara sama Arsen? Nggak pernah diajari sopan san–"
"Pergi! Saya masih banyak urusan yang lebih penting," usir Arsen.
Matanya menatap Nagita dengan tajam. Seketika membuat gadis berperawakan tinggi semampai itu langsung mendengus kemudian angkat kaki dari sana.
"Kok diusir, Mas?" tanya Jingga heran.
"Biarin aja. Nggak penting juga," jawab Arsen seraya mendorong Jingga agar masuk kamar.
"Emang itu tadi siapa, Mas?" Jingga kembali bertanya karena masih cukup penasaran.
Di sampingnya, Arsen terdengar menarik napas. Terlihat wajahnya yang sedikit mengeras.
"Kakak saya," ujar Arsen."Kakak?" ulang Jingga.
"Iya, Mara," tandas Arsen.
Usai mendengar jawaban Arsen, Jingga langsung diam. Ia tak berani bertanya lagi karena merasa Arsen tidak terlalu nyaman untuk membahas tentang kakaknya. Dari yang Jingga lihat hubungan keduanya juga tidak terlalu baik.
"Jadi, kenapa kamu manggil saya?" tanya Arsen sembari menarik Jingga agar duduk di tepi kasur bersamanya.
Terlihat Jingga yang semakin menundukkan wajah. Seperti ingin menyembunyikan sesuatu dari Arsen.
"Hei? Kenapa?" tanya Arsen sembari meraih wajah Jingga agar berhadapan dengannya.
"Itu …."
Mata Jingga berpendar gugup. Lidahnya mendadak kelu.
"Kenapa, sayang?"
Ditambah dengan sikap dan tutur kata Arsen, Jingga benar-benar sukses dibuat melting.
"Sa-saya mau mandi," adu Jingga.
"Iya. Terus?"
"Susah."
KAMU SEDANG MEMBACA
After We Got Married
Romance"Menikahlah dengan saya, Jingga." Itu adalah kalimat paling tidak masuk akal yang pernah Jingga dengar dari orang yang juga tak pernah Jingga sangka. Tetapi, Jingga tidak bisa menolak dan tidak akan menolak karena yang sedang dia butuhkan memang seo...