"Sudah sampai, Dik."
Taksi berhenti tepat di depan pintu masuk rumah sakit Citra Medika. Rumah sakit yang beberapa kali jadi tempat sang ayah melakukan check up kesehatan.
"Ini uangnya, Pak. Terima kasih," ucap Jingga seraya menyerahkan beberapa lembar uang 100 ribuan.
Supir taksi berusia 50-an itu terlihat kaget. Mungkin merasa bahwa uang yang ia terima terlalu banyak.
"Dik, uangnya kelebi--"
"Nggak apa-apa. Itu untuk Bapak," tukas Jingga.
Jingga ikhlas memberikan uang itu pada sang supir taksi. Ia merasa sangat berterima kasih karena sudah diantar hingga ke tempat tujuan. Padahal, bapak supir itu bisa saja menolak. Terlebih dengan tujuan yang cukup jauh dari ibukota, yakni Bandung.
Setelah turun dari taksi Jingga langsung berlari memasuki gedung rumah sakit. Ia bergegas menuju tempat yang sudah diberitahukan oleh Santi.
Saat-saat seperti ini Jingga benar-benar membenci kakinya yang pendek dan tak bisa berlari lebih cepat. Padahal, ia sudah sangat mengkhawatirkan kondisi sang ayah. Lubuk hatinya sudah menggebu-gebu olen rasa kalut yang butuh untuk diredakan. Dan, satu-satunya hal yang mampu meredakan rasa kalut itu adalah dengan melihat kondisi ayahnya yang baik-baik saja.
"Tante!"
Akhirnya, netra hazel gadis itu berhasil menemukan keberadaan Santi bersama suaminya, Widodo. Kedua orang itu duduk di bangku tunggu yang tersedia di depan ruang rawat.
Tepat di depan Santi dan Widodo, Jingga menghentikan langkahnya. Ia berusaha berdiri tegak walau seluruh sendinya terasa linu. Tenaganya seperti tersedot habis sejak saat mendengar kabar buruk mengenai Dirga.
"Tante, gimana keadaan ayah?" tanya Jingga dengan napas masih memburu.
Mendengar suara keponakan tercinta, Santi langsung mengangkat wajah. Wanita itu berdiri lalu memeluk Jingga dengan erat.
"Jingga, syukurlah kamu datang, Nak!" pekik Santi.
"Ayah gimana? Keadaan ayah gimana, Tante?" tanya Jingga kala pelukan
Santi sudah terlepas."Sebenarnya, semalam ayahmu pingsan. Ayahmu sudah di sini sejak semalam, Jingga. Tadi ayahmu sempat sadar dan mencari kamu, tapi sekarang sedang ditangani dokter karena kondisinya kritis," terang Santi.
Tangis Jingga kembali pecah setelah mendengar penjelasan Santi. Sontak saja wanita itu segera menuntun Jingga agar duduk di kursi tunggu.
Perasaan Jingga benar-benar kalut. Tidak pernah ia sangka kalau sang ayah akan jatuh sakit. Bahkan, sampai pada kondisi kritis seperti ini.
"Kamu yang tenang. Berdoa sama Allah supaya ayahmu segera diberi kesembuhan," ucap Widodo.
Ucapan Widodo hanya ditanggapi anggukan saja oleh Jingga. Namun, sebenarnya sejak tadi gadis itu sudah merapalkan doa untuk sang ayah. Tanpa jeda barang sedetikpun.
Suasana koridor khusus ruang rawat terasa semakin kelam karena tim dokter yang tidak kunjung keluar. Isak tangis Jingga pun terus mengudara. Bersaing dengan sunyinya koridor.
"Tante …," lirih Jingga.
Hati Santi bagai teriris belati kala mendengar betapa putus asa suara sang keponakan. Keponakannya yang begitu ceria dan selalu menularkan kebahagiaan pada orang-orang sekitarnya, kini terlihat begitu terpuruk dan rapuh.
Santi mengelus surai pendek Jingga. Air mata wanita itu pun luruh.
"Jingga nggak mau kehilangan ayah. Jingga belum siap kalo harus ditinggal juga sama ayah," ungkap Jingga.
KAMU SEDANG MEMBACA
After We Got Married
Romansa"Menikahlah dengan saya, Jingga." Itu adalah kalimat paling tidak masuk akal yang pernah Jingga dengar dari orang yang juga tak pernah Jingga sangka. Tetapi, Jingga tidak bisa menolak dan tidak akan menolak karena yang sedang dia butuhkan memang seo...