"Saya cinta kamu, Mara."
Jingga bukan pertama kalinya mendapat pengakuan seperti itu. Meskipun dia tidak pernah pacaran, tapi ada saja laki-laki yang mendekati dan dengan berani menyatakan cinta padanya. Namun, dari sekian banyak pernyataan yang ia dengar, tak pernah ada satupun yang berhasil mempengaruhi dirinya maupun hatinya. Tak seperti pengakuan Arsen beberapa saat lalu.
Sudah satu jam berlalu, tapi Jingga masih merasa merinding. Bukan takut. Entahlah. Dia juga bingung bagaimana mendeskripsikan perasaannya saat ini. Yang pasti debaran jantungnya semakin menjadi saat ingat kata-kata Arsen. Sementara matanya tak berani menatap langsung pada sosok berwajah tegas yang kini tengah melajukan mobilnya itu.
Jingga menunduk dan menatap tangannya yang saling bertaut di atas pangkuan. Tangan itu terasa dingin dan basah karena keringat. Mungkin, efek karena terlalu gugup. Gugup gara-gara Arsen sekaligus gugup karena sebentar lagi ia akan bertemu orang tua dan kakak dari lelaki itu.
"Nanti kalo kamu nggak nyaman kita nggak perlu lama-lama di sana," ucap Arsen tiba-tiba.
Seketika Jingga menatap Arsen dengan sorot terkejut.
"Eh, nggak! Jangan, Mas!" tolak Jingga dengan cepat.
"Kenapa?" tanya Arsen.
"Ya, masa kita cepat-cepat pergi. Padahal, kan, Mas Arsen juga udah lama nggak ketemu sama om dan tan--"
"Papa-mama," ralat Arsen.
Jingga meringis dalam hati. Sungguh dia masih belum terbiasa dengan panggilan itu.
"I-iya, maksud saya Mas Arsen udah lama nggak ketemu sama papa dan mama. Jadi, nggak seharusnya kita cepat-cepat pulang," ungkap Jingga.
Arsen melirik Jingga sekilas. "Tapi, di sana ada Nagita."
Memangnya kenapa kalau ada Nagita? Otak Jingga refleks menanyakan hal itu. Karena menurutnya kata-kata Arsen cukup aneh. Walau pertemuan pertamanya dengan Nagita meninggalkan kesan tak mengenakkan, tapi Jingga sama sekali tak berpikiran buruk terhadap Nagita. Justru ia berharap nanti akan bisa mengenal dan dekat dengan kakak perempuan suaminya itu.
"Emang kenapa kalo ada mbak Nagita?" Akhirnya, Jingga mengutarakan rasa penasarannya.
Tak lekas menjawab, kini Arsen malah diam. Seakan-akan ada sesuatu yang sedang ia pikirkan.
"Mas?" tegur Jingga.
Arsen tersadar dari lamunannya. Tangan kirinya meraih tangan Jingga dan menggenggamnya dengan lembut.
"Saya sangat sayang sama kamu, Mara," ungkap Arsen.
Duh! Lelaki satu ini suka sekali melakukan sesuatu secara tiba-tiba. Mengungkapkan perasaan secara tiba-tiba dan selalu berhasil memacu detak jantung Jingga meningkat pesat.
Jingga memalingkan wajahnya. Ia pura-pura sibuk melihat pemandangan jalan raya. Tentu saja untuk menyembunyikan rona merah yang telah menghias kedua pipinya.
"Kok, diam?" tanya Arsen.
"H-huh? Emang saya harus ngapain?"
"Balas, dong."
"Apanya?"
Mobil yang mereka tumpangi akhirnya berhenti di area restoran mewah tempat makan malam keluarga diadakan.
Usai mematikan mesin mobilnya, Arsen langsung menatap Jingga dengan sorot dalam dan lembut seperti biasa.
"Balas ucapan sayang saya. Kamu nggak sayang sama saya?" tanya Arsen.
"Apaan, sih, Mas?" sahut Jingga sudah salting brutal.
"Kok, gitu? Jadi, beneran? Kamu nggak sayang sama saya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
After We Got Married
Romance"Menikahlah dengan saya, Jingga." Itu adalah kalimat paling tidak masuk akal yang pernah Jingga dengar dari orang yang juga tak pernah Jingga sangka. Tetapi, Jingga tidak bisa menolak dan tidak akan menolak karena yang sedang dia butuhkan memang seo...