Selain duduk diam sambil menautkan dua tangan dan merapalkan do'a di dalam hatinya, tak ada lagi yang mampu Jingga lakukan. Tepat 1 jam yang lalu sang ayah masuk ruang operasi setelah mengalami penurunan kondisi yang cukup mengkhawatirkan.
Sejak 1 jam yang lalu Jingga duduk bersama Santi, Widodo, Maya, dan Sandi. Sedangkan Arsen entah pergi ke mana. Jingga tak punya waktu untuk sekedar memikirkan ke mana kiranya lelaki yang baru resmi mejadi suaminya itu. Yang ada dalam pikiran Jingga hanyalah Dirga yang tengah berjuang di dalam ruang operasi.
Jingga kembali menatap pintu ruang operasi, lalu memejamkan mata sejenak. Ia pun memperbaiki posisi duduknya menjadi bersandar pada dinding.
Ketika matanya terpejam bayangan Dirga yang tiba-tiba tak sadarkan diri pun muncul. Hati Jingga kembali terasa pilu tak tertahankan. Jingga benar-benar takut sang ayah juga pergi meninggalkannya. Jingga tidak akan pernah siap jika sekali lagi kehilangan malaikatnya.
"Jingga?"
Jingga mendengar suara itu. Ia menangkap dengan jelas suara lembut yang memanggil namanya serta sentuhan pelan yang juga mendarat di bahunya.
"Jingga?"
Kali kedua suara itu terdengar mata Jingga pun terbuka. Dilihatnya sekeliling yang sepi dan hanya tersisa dirinya juga lelaki yang kini duduk di sampingnya.
"Yang lain lagi istirahat," ucap Arsen seolah dapat membaca pikiran Jingga.
"O-oh, iya," jawab Jingga gelagapan.
Gadis berpipi tembam itu langsung memperbaiki posisi duduknya jadi lebih tegak.
"Maaf. Tadi saya ada urusan sebentar," ucap Arsen kembali memecah keheningan.
Melirik Arsen sekilas, Jingga pun menyahut, "Iya, nggak apa-apa. Nggak perlu minta maaf, Pak."
Jingga kira setelah percakapan singkat itu sudah tak ada lagi hal yang akan terjadi atau sesuatu yang ingin Arsen katakan. Namun, ternyata dugaan Jingga tidak benar.
Kini Jingga melihat Arsen yang tengah menyodorkan sebotol air mineral untuknya.
"Minum dulu," titah Arsen.
"Makasih, Pak," ucap Jingga seraya menerima air mineral pemberian Arsen.
Hening kembali mendera usai Jingga meneguk air mineralnya.
Sepertinya, kini baik Jingga maupun Arsen sama-sama sedang meladeni riuh dalam kepala masing-masing. Atau lebih tepatnya Arsen yang tengah sibuk dengan isi kepalanya? Karena saat ini pikiran Jingga justru terdistraksi oleh keberadaan Arsen. Diam-diam gadis itu melirik Arsen yang duduk tepat di sampingnya. Ia pun mulai menebak-nebak apa kiranya yang sedang Arsen pikirkan. Apakah Arsen tengah menyesali keputusannya?
"Saya nggak menyesal menikah dengan kamu," ucap Arsen tiba-tiba.
Jingga sukses dibuat tercengang. Lelaki bersurai hitam itu benar-benar seperti bisa membaca pikiran Jingga layaknya buku yang terbuka.
Tiba-tiba Arsen menoleh ke arah Jingga.
"Kamu menyesal menikah dengan saya?" tanya Arsen seraya menatap lamat mata Jingga.
Ditatap sedemikian lamat membuat Jingga menjadi salah tingkah. Lidahnya pun mendadak kelu. Tenggorokan yang baru saja merasakan segarnya air mineral, kini justru terasa tandus bagai gurun pasir di musim panas.
"Jingga?" tegur Arsen.
"Y-ya?" sahut Jingga agak kaget.
"Saya tanya ... apa kamu menyesal menikah dengan saya?" Arsen mengulang pertanyaannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
After We Got Married
Romance"Menikahlah dengan saya, Jingga." Itu adalah kalimat paling tidak masuk akal yang pernah Jingga dengar dari orang yang juga tak pernah Jingga sangka. Tetapi, Jingga tidak bisa menolak dan tidak akan menolak karena yang sedang dia butuhkan memang seo...