51. Menyesali Pilihanmu?

8.7K 451 8
                                    

"Alana?"

Jingga meremat selimutnya ketika Arsen merapalkan nama itu. Denyutan sakit kembali melanda hatinya yang sudah berdarah-darah. Sekarang apa yang harus Jingga lakukan?

Saya harus merelakan kamu, kan, Mas. Batin Jingga.

"Hai!" sapa Alana tanpa melunturkan senyum cerahnya.

"Mama, tungguin!"

Suara lain kembali terdengar. Namun, kali Jingga bisa menebak kalau suara itu milik seorang anak kecil. Dugaannya pun terbukti tepat saat anak laki-laki usia sekitar 5 tahun masuk ke ruang rawatnya dan langsung memeluk betis Alana. Di belakang anak itu ada laki-laki dewasa yang tampak berusaha mengatur deru napasnya.

"Sayang, jangan lari-lari, dong. Kasian Papa," tegur Alana pada bocah laki-laki itu.

Mendengar dan melihat cara Alana bicara pada dua lelaki beda usia itu seketika Jingga dibuat bingung. Tidak. Sangat bingung malah. Kini, ia hanya bisa menatap tiga orang itu sambil mencoba menyatukan kepingan puzzle yang berceceran di dalam benaknya. Tentang apa yang selama ini ia ketahui tentang Alana dan hubungan perempuan itu dengan Arsen.

"Gimana keadaan kamu, Jingga?" Alana bertanya sembari menatap Jingga dengan seksama.

"Oh, iya. Kamu masih ingat aku, kan? Kita pernah ketemu di supermarket, dulu," imbuh Alana ketika melihat Jingga yang tampak linglung.

Mengangguk kaku, Jingga lantas berkata, "I-iya. Ingat, Mbak."

"Sayang, Alana ini teman kuliahku dulu," terang Arsen.

Alana melebarkan senyumnya usai mendengar penjelasan Arsen tentang hubungan mereka.

"Iya, Ji. Aku temannya Arsen. Kalo ini anak sama suamiku," sambung Alana seraya memperkenalkan anak dan suaminya.

Laki-laki yang semula berdiri di belakang Alana itu pun lekas maju dan memperkenalkan diri pada Jingga.

"Saya Hanan," kata Hanan, memperkenalkan diri pada Jingga.

"Jingga. Terima kasih sudah mau repot-repot datang, Mas Hanan," ungkap Jingga dengan tulus.

Hanan tak sempat menanggapi ucapan Jingga karena menyaksikan sang putra yang tiba-tiba naik ke atas ranjang Jingga. Bocah itu menyangga wajah dengan dua tangan dan menatap seksama wajah Jingga yang masih agak pucat.

"Tante sakit apa? Sakitnya parah, nggak?"

Segera Jingga menggelengkan wajah guna menepis kekhawatiran bocah laki-laki itu.

"Nggak parah, kok. Bentar lagi juga Tante sembuh terus pulang, deh," jawab Jingga.

"Dika, turun. Jangan ganggu Tante. Tante masih butuh istirahat," tegur Alana.

Mau tak mau Dika pun turun dari ranjang. Tak lupa, ia memanyunkan bibirnya sebagai bentuk protes pada sang Mama. Namun, Alana yang sudah kelewat hafal pun tak menggubrisnya.

"Sen, aku mau ngobrol sebentar sama Jingga. Boleh, kan?" pinta Alana.

Arsen mengangguk cepat. "Silakan."

Lelaki itu beralih menatap sang istri. "Nggak apa-apa, kan?" tanya Arsen.

"Iya, Mas," jawab Jingga sambil mengangguk samar.

Arsen dan Hanan serta Dika lantas keluar dari ruang rawat untuk memberi waktu pada Alana yang hendak mengobrol berdua saja dengan Jingga.

"Aku nggak tau mau bawa apa, jadi ...." Alana tidak melanjutkan kata-katanya dan beralih mengguncang pelan buket bunga di tangan kanannya.

After We Got MarriedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang