16. Kakak?

9.3K 547 11
                                    


"ASTAGHFIRULLAH!!"

Suara bantingan pintu sukses mengagetkan Bima yang semula tidur di sofa. Lelaki itu sampai jatuh dari sofa dan merelakan pantatnya bersilaturahmi dengan lantai. Alhasil, kini yang ia rasakan adalah nyeri dan sakit. Belum lagi kepalanya yang diserang pening karena baru akan tidur, tapi malah dibangunkan dengan cara yang begitu tidak elit.

Namun, semua itu tak penting. Sebab, sekarang seluruh perhatiannya sudah tertuju pada sosok di ambang pintu. Sosok yang tadi membuka pintu dengan tidak santai hingga menimbulkan bunyi yang cukup nyaring. Beruntungnya Jingga tidak terbangun sama sekali. Mungkin efek karena kelelahan dan kinerja obat yang baru diminum gadis itu.

Bima buru-buru berdiri. Ia hendak menghampiri laki-laki yang tadi sempat bicara dengannya via telepon.
"Pak Arsen sa–"

Ucapan Bima menggantung di udara karena Arsen mengabaikannya dan malah nyelonong masuk ke ruang rawat. Lelaki itu menghampiri Jingga yang tertidur pulas dengan wajah masih tampak pucat.

Walau kesal karena kedatangan Arsen yang tiba-tiba itu, namun Bima tetap berusaha sopan dan ramah. Ia menghampiri Arsen yang masih berdiri di sisi kanan ranjang Jingga.

"Permisi, Pak Arsen," sapa Bima yang hanya disambut lirikan sekilas.

"Maaf. Bapak sebenarnya ada keperluan apa dengan Jingga? Kalo memang sangat penting bisa disampaikan ke saya biar besok saya kasih tau Jingga, Pak. Sekarang Bapak lihat sendiri, kan? Jingga masih belum sehat, Pak. Jadi–"

"Apa kata dokter?" Arsen menyela ocehan Bima dengan sebuah pertanyaan bernada datar.

Tatapan lelaki itu juga masih tetap fokus pada Jingga.

Menggaruk tengkuk karena heran adalah hal yang Bima lakukan. Ia heran karena Arsen si dosen killer tiba-tiba datang dan tiba-tiba menanyakan kondisi sahabatnya.

"Kamu dengar pertanyaan saya atau tidak?"

Suara datar Arsen kembali terdengar. Sontak Bima gelagapan. Takut kena gampar dosen killer itu.

"Eh, i-iya, Pak. Tadi dokter bilang kalo Jingga kelelahan dan stres berat, jadi berdampak sama kondisi fisiknya," terang Bima.

Terdengar helaan napas dari Arsen. Wajahnya pun tampak frustrasi usai mendengar penjelasan Bima.

Arsen lekas mendudukkan diri sementara Bima masih berdiri kikuk. Tidak tahu harus melakukan apa atau bicara apa lagi meskipun kini ribuan tanya berlarian dalam benaknya.

"Kamu bisa pulang sekarang. Terima kasih sudah menjaga Jingga," ujar Arsen.

"Ya, Pak? Maksudnya?" Bima bertanya penuh kebingungan.

Yang tamu, kan, Arsen bukan dia. Kenapa malah dia yang diusir? Begitulah kira-kira isi kepala Bima.

"Pulang, Bima. Biar saya yang jaga Jingga!" tegas Arsen.
"
Lho, Pak? Kok, gitu? Aduh! Jangan, Pak. Nggak usah repot-repot. Saya tau Jingga itu mahasiswi yang baik dan kebanggaan fakultas, tapi nggak etis juga kalo sampai harus dijagain salah satu dosennya saat lagi sakit," bantah Bima masih dengan intonasi yang sopan.

Arsen terlihat memejamkan mata sejenak. Mungkin menahan kekesalan karena Bima yang keukeh ingin tinggal di sana. Ya, Arsen paham kalau Bima khawatir pada Jingga. Tapi, tetap saja ia ingin lelaki itu pergi dan tidak mengganggunya bersama Jingga.

"Silakan pulang, Bima. Saya nggak akan mengulangi perkataan saya lagi," kata Arsen dengan nada tajam.

Bulu kuduk Bima sukses dibuat berdiri semua. Apalagi saat bersambut dengan tatapan tajam Arsen. Rasanya Bima seperti terdampar di sebuah ruangan horor penuh dengan hantu penunggu. Menyeramkan sekali.

After We Got MarriedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang