"Mas?"Arsen menghentikan langkahnya. Diiringi raut muka penuh tanya, dosen muda itupun menatap Jingga.
"Kenapa, Mara?"
"Serius mau ikut saya ketemu Elkan?" tanya Jingga.
Tanpa ragu Arsen mengangguk.
"Nanti kalo dia nanya-nanya gimana? Kalo dia curiga sama kita?" cerca Jingga.
"Emang dia berani?" balas Arsen seraya tersenyum remeh.
Merasa tak mampu mendebat sang suami, akhirnya Jingga memilih untuk mengalah. Percuma juga dia bicara panjang lebar guna membujuk Arsen agar tak mengikutinya karena sekarang lelaki berparas tampan dengan garis wajah tegas itu sedang tak bisa dibujuk. Tekadnya sudah kuat. Tak bisa diganggu gugat.
"Saya nggak akan biarin dia cari-cari kesempatan sama kamu," desis Arsen.
"Apa, sih, Mas? Dia cuma mau bicarain soal tawaran bu Ambar," sanggah Jingga.
Alis tebal Arsen saling bertaut. Pertanda tak terima dengan argumen sang istri.
"Kamu belain dia?" sinis Arsen.
Jingga menoleh pun tersenyum semanis mungkin. "Nggak, Mas. Suami saya, kan, Mas Arsen. Ngapain juga saya belain laki-laki lain?"
Perkataan gadis itu berhasil memancing senyum Arsen muncul ke permukaan.
"Bagus kalo kamu tau," kata Arsen, lalu menepuk pelan puncak kepala Jingga.
Sontak gadis itu menoleh ke sekitar. Cuma untuk memastikan kalau tidak ada yang melihat perilaku Arsen padanya.
"Mas Arsen," desis Jingga.
"Kenapa, sayang?" goda Arsen.
Jingga semakin membulatkan matanya. Bibirnya gatal sekali ingin mengomeli Arsen yang menggombal tanpa tahu tempat.
"Jingga?"
Ketika suara Elkan terdengar Jingga langsung mengubah ekspresinya. Ia bahkan sedikit menjaga jarak dari Arsen.
"Hai, El!" sapa Jingga begitu tiba di depan Elkan.
"Hai!" balas Elkan.
Cowok berkemeja navy itu beralih pada Arsen.
"Selamat pagi, Pak," sapa Elkan.
"Pagi," jawab Arsen acuh tak acuh.
Melirik Jingga sekilas, lalu Arsen berkata, "Saya duluan."
"Baik, Pak," jawab Jingga dan Elkan secara bersamaan.
Setelah sempat beradu tatap dengan Jingga, Arsen pun benar-benar meninggalkan taman fakultas. Kini, tersisa Jingga dan Elkan.
Gadis itu lantas duduk di kursi taman yang tersedia. Tak lama, Elkan juga menyusul.
"Kok, kamu bisa bareng sama pak Arsen, Ji?" tanya Elkan penasaran.
"Tadi nggak sengaja ketemu di depan. Terus sekalian aja gue nanya-nanya soal tugas dari beliau," dusta Jingga.
Elkan manggut-manggut paham. "Oh, gitu."
"So?" tagih Jingga.
Ternyata dia masih tetap merasa kurang nyaman saat harus lama-lama berdekatan dengan Elkan. Sehingga sekarang Jingga berniat segera menyelesaikan urusan mereka.
"Soal tawaran bu Ambar ... kita terima aja, ya, Ji," bujuk Elkan.
"Kalo lo mau, ya, terima aja. Tapi gue--"
"Cuma kamu partner kerja yang cocok sama aku, Ji," potong Elkan cepat.
Jingga menatap penuh selidik sosok Elkan yang duduk di sampingnya. "Gimana mungkin lo bilang gitu, sementara lo belum pernah nyoba sama orang lain?" tanya Jingga.
KAMU SEDANG MEMBACA
After We Got Married
Любовные романы"Menikahlah dengan saya, Jingga." Itu adalah kalimat paling tidak masuk akal yang pernah Jingga dengar dari orang yang juga tak pernah Jingga sangka. Tetapi, Jingga tidak bisa menolak dan tidak akan menolak karena yang sedang dia butuhkan memang seo...