47. Harus Memilih

6.7K 429 229
                                    

Arsen sudah sangat menantikan saat-saat ini. Saat di mana dirinya bisa bertemu Jingga. Saat di mana kedua matanya dapat melihat wajah sang istri yang teramat ia rindukan. Namun, saat-saat yang ditunggunya tak lekas terwujud karena kini ia bahkan tak punya keberanian untuk mengetuk pintu vila yang ditinggali sang istri. Perasaan gugup dan takut tiba-tiba datang menyerang.

Bagaimana jika Jingga tak menerima kehadirannya? Bagaimana jika Jingga membencinya? Bagaimana jika Jingga tak mau memaafkannya? Bagaimana jika ia gagal meyakinkan Jingga sehingga gadis itu memutuskan untuk tetap berpisah karena ancaman Nagita?

"Nggak. Nggak boleh," gumam Arsen seraya menggelengkan kepala beberapa kali.

Tak ada gunanya terus memikirkan hal-hal itu. Yang terpenting sekarang adalah ia mengerahkan upaya terbaiknya dan membawa Jingga pulang bersamanya.

"Mara?" panggil Arsen setelah mengetuk pintu sebanyak dua kali.

Tidak ada jawaban dari dalam vila berdesain minimalis itu.

"Mara? Tolong buka pintunya, sayang. Kita harus bicara!" seru Arsen.

Namun, sekali lagi hanya keheningan yang memerangkap.

Tak punya pilihan lain, akhirnya Arsen mencoba membuka pintu itu. Beruntungnya pintu berwarna hitam itu dalam keadaan tak terkunci.

Hal pertama yang Arsen rasakan ketika menginjakkan kaki di dalam vila adalah dingin. Vila itu terasa amat dingin seperti tak ada kehidupan. Tak ada tanda-tanda bahwa bangunan itu dihuni oleh seseorang. Gorden di ruang tamu dan ruang lainnya tertutup rapat. Lampu dalam keadaan padam. Padahal, sekarang masih jam 5 pagi.

"Mara?" Suara Arsen menggema dalam vila.

Wajah lelaki itu menengadah ke lantai dua. Suasana di sana juga sepertinya sama saja dengan lantai bawah.

"Mara, kamu di mana?" Arsen berteriak sembari menaiki lantai dua.

Ia memeriksa setiap ruangan yang ada di lantai dua. Tak ada Jingga di sana. Tiba di ruangan terakhir, Arsen tidak langsung menerobos masuk. Ia berdiam sejenak di depan pintu. Napasnya terdengar memburu karena panik dan cemas. Percayalah pikiran Arsen sekarang sudah tak bisa fokus lagi. Berbagai kemungkinan buruk sudah berhasil melenyapkan kewarasannya.

"Mara?"

Harapannya pupus sudah ketika pintu terbuka dan menampakkan kondisi ruangan yang kosong. Ruangan itu ternyata adalah kamar yang ditempati Jingga. Di atas nakas ada ponsel Jingga yang tergeletak dalam keadaan mati. Gorden jendela kamar juga tertutup rapat. Lampunya dibiarkan padam. Selimut dan bantal terlihat rapi seperti tidak pernah disentuh sebelumnya.

"Kamu di mana, Mara?" Suara Arsen benar-benar dipenuhi rasa cemas dan khawatir.

"Mbak Jingga?"

Segera Arsen berbalik ketika ada sosok lain yang datang. Seorang perempuan paruh baya dengan pakaian sederhana dan rambut digelung.

"Eh, Mas siapa, ya?" tanyanya heran.

Arsen maju dan menyalami perempuan itu. "Saya Arsen suami Jingga, Bu," tutur Arsen.

"Mau jemput mbak Jingga?"

Wajah Arsen mengangguk pelan.

"Tapi, Mas ... dari semalam mbak Jingga belum pulang," kata ibu itu.

"Ibu tau ke mana istri saya pergi?" Arsen bertanya dengan nada penuh harap.

"Tidak tau, Mas. Kemarin saya cuma sempat lihat mbak Jingga keluar dari vila. Setelah itu, semalam sewaktu saya ke sini mengantar makan malam dianya nggak ada," terang si ibu dengan jelas.

After We Got MarriedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang