Chapter 2 : Daily Routine (2)

387 30 4
                                    

Bisik-bisik yang masuk ke telinganya, sebenarnya sudah biasa dia dengarkan. Namun entah kenapa, dia tetap tidak biasa jika ada yang menyebutnya sebagai produk gagal.

" Benar kan? Dia orangnya,"

" Iya, dia si produk gagal. Tentu saja Dylan lebih cocok"

" Kekuatannya tidak berguna sama sekali. Bagaimana mau jadi penerus?"

Perkenalkan, David Nicolov.

Laki-laki tinggi berhidung mancung, dengan senyum yang selalu menghiasi wajahnya. Tampan dan gagah jika dilihat dari perspektif manusia normal. Namun terlihat seperti sampah jika di mata manusia dengan ekspektasi tinggi.

David sebenarnya tidak mempermasalahkan pendapat mereka yang sepertinya sama semua. Namun entah kenapa, hatinya sakit karena dianggap seperti tidak berguna. Padahal dia sudah berusaha semampunya untuk menggunakan kekuatannya demi menolong orang lain.

' Apakah mereka berekspektasi aku akan seperti Neal Rodriguez? Atau Sean Miller?'

Terkadang, David iri pada dua orang itu. Mereka mendapatkan kekuatan yang hebat dan berada di keluarga kalangan atas dan terkenal. Sementara dirinya, walaupun termasuk 10 keluarga besar, tapi kekuatannya tidak sekuat milik adiknya. Bahkan kepintaran mereka pun berbeda.

' Bagaimana caraku bisa seperti mereka?'

" Kak!!"

Ah, suara itu.

David berbalik dan mendapati sosok laki-laki berusia 18 tahun yang kini berlari kecil kearahnya. Laki-laki dengan jaket berwarna biru itu tampak menggemaskan di mata David, dan tampak keren di mata perempuan di luar sana.

" Astaga, kenapa teleponku tidak diangkat? Aku mencarimu dari tadi" tanyanya.

" Aku hanya sedang mencari udara segar, Dylan," ucap David.

Dylan Nicolov.

Salah satu keajaiban di keluarga Nicolov. Karena Dylan sangat pintar, sehingga bisa menguasai pelajaran untuk satu tingkat diatasnya. Dia pun ikut akselerasi dan kini akan masuk Fortisse Academy bersama sang Kakak di usianya yang masih 18 tahun.

" Ajak aku juga. Aku bosan di dalam rumah" ujar Dylan merajuk.

" Iya, iya. Ayo kita cari toko es krim di sekitar sini" sahut David, merangkul sang adik.

Melihat dua kakak beradik itu berjalan bersama, tentu saja membuat banyak orang yang kebetulan lewat pasti berdecak kagum. Apalagi bisa melihat dengan jelas dua orang dari keluarga Nicolov.

" Kapan kau mau kita pindah ke asrama?" tanya David, memulai obrolan.

" Secepatnya. Aku sudah lelah dengan obrolan di rumah tiap harinya" sahut Dylan cepat.

Dylan bukannya tidak tahu kalau banyak omongan jelek tentang Kakaknya. Dia tahu tapi selalu diminta diam oleh sang Kakak dan sepupunya, Zidan. Jadi dia hanya bisa menghapal siapa saja orang-orang yang tidak menyukai Kakaknya, dan suatu saat akan dia balas.

" Besok bagaimana? Kurasa pindah lebih cepat juga lebih baik. Kita bisa berkeliling melihat-lihat akademi" tanya David.

" Boleh. Ah, aku ingin beli es krim disana dulu. Kakak tunggu disini ya," Dylan dengan cepat pergi ke toko es krim yang tidak jauh dari situ.

David hanya menggelengkan kepalanya, lalu duduk di salah satu bangku di taman yang mereka datangi. Membiarkan dirinya larut dalam pikiran yang dia ciptakan.

" Kyaa!!"

Suara teriakan itu, berhasil membuat David sontak berdiri dan melihat asal suara. Tidak jauh dari tempat dia duduk tadi, ada seorang perempuan yang berlutut ketakutan di depan sosok laki-laki berpakaian serba hitam.

The FighterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang