Kekacauan di pesta ulang tahun putri sulung keluarga Rovergart mendapat perhatian dari publik. Banyak reporter yang tiba disana dan mulai menanyai para hadirin yang kala itu ada di aula pesta.
Zino menyingkir dari pandangan reporter dan segera menghampiri teman-temannya. Dia tadi sudah menyerahkan Marsha ke keluarganya yang disambut haru tangis karena mereka pikir Marsha dibawa oleh musuh.
" Zino! Kau baik-baik saja? Kau dimana tadi?" tanya Stefan khawatir.
" Aku baik-baik saja. Aku kan membawa Marsha supaya tidak dibawa oleh musuh," ucap Zino.
" Syukurlah kau baik-baik saja. Aku takut kau yang malah diculik," ujar Stefan yang dibalas tawa kecil oleh Zino.
Zino mengedarkan pandangannya, mencari keberadaan Joshua yang tidak ikut dalam obrolan. Dia melihat Joshua tengah berdiri di dekat jasad manusia biasa yang dia bunuh.
" Ada apa?" tanya Zino.
" Sebelum aku membunuhnya, aku seperti mendengar dia bilang untuk membunuhnya saja. Katanya aku sudah membebaskannya," ucap Joshua dengan mata yang masih menatap jasad itu.
Zino merangkul Joshua, mengusap pelan bahu teman rasa saudara kembarnya itu. Dia paham apa yang dirasakan Joshua. Tentu saja walaupun Joshua bilang dia bisa membunuh manusia biasa, tapi ada keraguan di dalam dirinya.
Zino tahu dengan pasti kalau Joshua memiliki hati yang lembut.
" Kau sudah melakukan yang terbaik. Dia tahu dia tidak bisa selamat makanya dia bilang kau berhasil membebaskannya," ucap Zino.
Joshua hanya mengangguk. Dia tidak menangis, walaupun rasanya sangat sedih. Dia kembali teringat soal masa lalunya kala melihat manusia tadi. Rasanya sama, dia tahu seberapa sulitnya mengendalikan kekuatan yang bukan miliknya.
Bedanya, Joshua beruntung sementara manusia tadi tidak.
" Apa aku akan jadi seperti dia kalau kebanyakan menggunakan teleportasi?" tanya Joshua pada Zino, tanpa menatap temannya itu.
Zino tidak menjawab. Lebih tepatnya tidak tahu harus menjawab apa untuk memberikan jawaban yang memuaskan temannya itu. Zino tahu Joshua tengah merasa bersalah.
" Tidak. Kurasa..... Batas seseorang berbeda-beda bukan? Lagipula, dia manusia biasa jadi wajar kalau tidak kuat menahannya. Sementara kau kan punya kekuatan sejak lahir, jadi kurasa batasmu lebih besar," ucap Zino.
Joshua mengangguk saja. Dia masih memperhatikan jasad itu sampai masuk ke mobil jenazah. Bahkan sampai mobilnya pergi pun, Joshua masih disana. Zino juga menemaninya.
Sean melihatnya dari jauh. Dia masih penasaran kenapa Joshua bisa tidak ragu sama sekali saat membunuh manusia biasa tadi. Walaupun bentuknya monster, tapi mereka tahu kalau itu adalah manusia.
Ditambah, sepertinya ada yang tidak dia ketahui soal Joshua. Dia terus bertanya-tanya sejak tadi, darimana Joshua tahu kalau monster tadi adalah manusia biasa? Sean malah jadi kepikiran jika Joshua sebenarnya adalah musuh.
' Tidak, dia sudah menyelamatkan banyak orang. Mana mungkin dia musuh kan?' batinnya.
" Sean, mau pulang sekarang?" tanya William yang membuat Sean mengalihkan pandangannya.
" Kita ke asrama semua kan? Ayo bersama saja," ucap Vincent.
Sean mengangguk. Dia pun memanggil Zino dan Joshua, mengajak keduanya untuk ikut bersama mereka. Dan untuk ke sekian kalinya, Stefan bersumpah ini adalah salah satu momen paling dia benci. Suasana hening di dalam mobil yang ditumpanginya menjadi salah satu alasan.
Dia hanya bertiga bersama Vincent dan Sean. Sementara Marcello sudah pulang duluan, katanya mau ke rumah orang tuanya dulu baru ke asrama. Kalau tidak mungkin Sean akan pindah ke mobil William.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Fighter
FanfictionNegara Fortissi, negara baru yang terbentuk setelah meteor superpower menghantam bumi. Negara damai yang banyak dijadikan tempat wisata bagi turis asing. Namun, siapa yang sangka jika dibalik keindahan dan kedamaian di negara itu, tersimpan sebuah r...