Indri berjalan membawa sebuah kantong plastik putih yang berasal dari salah satu minimarket terkenal. Berisi beberapa bahan makanan dan juga jajanan ringan sebagai camilan Alan, perempuan berambut panjang terurai itu tersenyum saat melihat toko miliknya yang beberapa tahun ini di kelola oleh sahabatnya. Melodi, teman dekat dan teman curhatnya sebagai sesama perempuan korban dari laki-laki bernama Alvin.
Mengangkat tangan kirinya untuk menatap sebuah jam yang melingkar, Indri mulai menerka apa kiranya yang tengah Melodi lakukan di tokonya sampai sebuah tubuh laki-laki membuat rasa penasarannya berubah haluan. Laki-laki bertubuh kurus, memakai kaos putih dan celana jeans selutut. Juga dengan sebuah topi di kepala yang diposisikan ke belakang. Berdiri di depan toko sambil memasang sebuah x banner berisi promosi toko, maka kejutanlah yang Indri dapatkan.
Orang itu sudah jelas Alvin. Mantan pacar Indri yang dulu pernah memerasnya. Laki-laki brengsek yang dulu ia laporkan ke polisi. Laki-laki yang membuat dirinya trauma hingga mengidap Androphobia. Laki-laki yang merusak kepercayaannya terhadap para pria. Laki-laki bejat.
Indri melangkahkan kakinya dengan cepat menghampiri Alvin. Memberikan sebuah tamparan saat wajah Alvin menoleh, tentu itu bisa di sebut kejutan dari mantan setelah sekian lama tak bertemu.
"Ngapain lo disini?" tanya Indri berang.
Alvin mengusap pipinya yang agak perih lalu tersenyum tak percaya saat melihat Indri telah berdiri di dekatnya. "Sambutannya luar biasa banget ya."
"Sambutan ta* lo warna pelangi? Ngapain lo ada di sini? Di toko gue? Lo—jangan bilang lo mau balas dendam karena udah di laporin ke polisi?" tuding Indri yang tak bisa lagi memberikan kepercayaannya terhadap laki-laki. Apalagi terhadap Alvin. Sang maniak yang patut dimusnahkan.
"Toko ini punya Lo?" tanya Alvin seolah kaget.
Mendengar suara pintu toko yang di buka, kedua orang itu menoleh tanpa bisa bercakap-cakap lebih lama. Menemukan sosok Melodi, yang berdiri mematung di ambang pintu karena terkejut. Kebingungan, Melodi merasa tak tahu harus bagaimana menjelaskannya kepada Indri.
"Toko ini, emang bener punyanya dia?" tanya Alvin kepada Melodi seraya menunjuk Indri menggunakan telunjuknya.
."Mel... Kamu udah gila?" tanya Indri ketika dirinya dan Melodi berbicara berdua di dalam toko. Memperhatikan Alvin yang duduk di depan toko sambil mengobrol santai dengan Alan. Pasangan ayah dan anak itu sepertinya cepat akrab mengingat darah yang lebih kental daripada air. Istilah darah daging, gen yang tak bisa di pisahkan.
"Aku juga bingung harus gimana," kata Melodi memberikan pembelaan.
"Kamu harusnya bercermin dari masa lalu. Dia itu berbahaya. Laki-laki yang gak bisa di percaya. Gimana bisa kamu biarin dia berkeliaran di dekat kamu. Di dekat Alan. Aku benar-benar gak habis pikir." Kepala Indri menggeleng dan hembusan napas terdengar keras meluncur dari bibirnya. Kecewa. Seperti itulah perasaan Indri saat ini.
Merubah posisinya membelakangi Melodi sambil memangku kedua tangan di perut, Indri mencoba memberikan waktu bagi Melodi untuk berpikir sejenak sebelum ia membalikan tubuhnya menatap Melodi dan kembali berbicara.
"Jangan bilang kalo kamu udah putus asa."
Melodi tersenyum. "Memang apalagi alasan yang paling bagus kalo bukan karena itu?"
"Mel..."
"Dia bilang dia bakalan tanggung jawab. Dan itulah yang dibutuhkan oleh Alan. Aku tentu gak bisa bersikap egois dengan mengesampingkan Alan demi ego yang aku punya. Lagian, baru kali ini aku lihat Alan sebahagia ini," kata Melodi tersenyum menatap Alan yang tengah tertawa bersama dengan Alvin. Pemandangan yang baru ia lihat dan tentunya sedikit mengusik perasaannya. Hatinya seketika menghangat. Tanpa sadar, Melodi ikut merasakan kebahagiaan yang tengah di rasakan oleh anaknya juga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Back to Me, Please?
RomanceKarena gagal taruhan, Sarah harus menerima tantangan dari temannya yaitu dengan mendaftarkan diri di aplikasi kencan online. Siapa sangka, hal itu membuatnya harus bertemu dengan mantan suaminya yang juga ikut mendaftar di aplikasi tersebut. Bian ad...