bab 23. Percaya?

3.3K 262 12
                                    

     11 tahun yang lalu

     Bian dan Sarah yang terlihat masih muda berjalan bersama menyusuri jalanan yang baru selesai di aspal. Membawakan tas ransel milik sang kekasih, Bian tak hentinya menatap wajah cantik Sarah yang begitu menyilaukan matanya.

     "Kamu kenapa malah ikut?" Tanya Sarah yang masih belum percaya jika Bian mengikutinya sampai pulang kampung. Ia mengira pemuda itu hanya bercanda dan menganggap cinta Bian hanyalah cinta monyet layaknya kisah cinta para anak-anak muda yang lainnya.

     "Aku kan mau ketemu orang tua kamu," jawab Bian sesekali menatap jalan yang akan di pijaknya.

     "Kalo kamu gak di izinin nginep gimana?" Tanya Sarah yang membuat langkah Bian terhenti seketika. Sepertinya pemuda itu tak memikirkannya sampai ke sana. Sarah yang menyadari langkah Bian terhenti di belakangnya langsung menoleh.

     "Apa kamu berencana pulang lagi?" Tanya Sarah yang dijawab gelengan kepala oleh Bian.

     Terdiam sebentar, akhirnya Bian menghembuskan napas dan melangkahkan kakinya kembali menghampiri Sarah. "Apa disini kalo malam dingin banget? Trus kalo tidur di luar bakal banyak nyamuk yang gigit nggak? Apa kamu punya selimut extra? Ya untuk jaga-jaga aja gitu, kalo sampe aku gak di ijinin masuk dan sampe harus tidur di luar," kata Bian sukses membuat Sarah tertawa terbahak-bahak. Wajah khawatir Bian itu yang jadi penyebabnya. Terlihat serius dan begitu lucu. Untung ganteng.
.
.

     Ibu menatap Bian dan Sarah bergantian. Anaknya yang katanya baru lulus SMA itu sudah berani membawa pemuda tampan yang seumuran ke rumahnya? Dari Ibu kota pula. Meski wajah Bian memang terlihat seperti anak baik-baik. Pakaiannya pun terlihat begitu sopan, kemeja lengan pendek berwarna Biru langit yang di masukan kedalam celana jeans hitam. Sejauh ini belum pernah Ibu melihat pemuda setampan Bian. Bahkan almarhum suaminya sekalipun kalah tampan.

     "Nak Bian ini siapanya Sarah?" Tanya Ibu menatap pemuda yang duduk di hadapannya. Kursi tua dan tembok yang belum di cat. Rumah keluarga Sarah masih terbilang begitu sederhana.

     Bian tersenyum ramah kepada ibu walau sedikit malu-malu. "Saya ini calon suaminya Sarah."

     "Calon suami?!" Pekik Ibu lengkap dengan mata yang melebar sempurna. Beralih menatap Sarah, anak gadisnya tersebut langsung menggeleng cepat untuk menyangkal pemikiran sang ibunda.

     "Bukan gitu, bu," sangkal Sarah.

     "Iya!" Jawab Bian tak terima karena Sarah menyangkal ucapannya.

     Sarah merasa kesal, dirinya menggetok kepala Bian cukup keras yang membuat pemuda itu meringis memegangi kepalanya."Diam dulu!" Kata Sarah dengan nada sedikit mengancam.

     "Dia ini temen deketnya Sarah," kata Sarah masih berusaha menjelaskan.

     "Lebih tepatnya pacar, bu." Bian mengoreksi.

     "Bian!"

     "Apa? Emang bener kan? Kita pacaran, lalu setelah lulus kuliah kita bakalan nikah." Bian kemudian beralih menatap ibu dengan wajah malu-malu. "Jadi, saya mohon bu. Jangan terima laki-laki lain selain Saya untuk di jadikan suaminya Sarah. Tolong ya bu."

     Wajah ibu terlihat mulai melunak. Menghembuskan napas seraya menatap kedua pasangan muda di depannya. Ia merasa bingung harus bagaimana.

     "Jadi Sarah. Kamu lagi gak hamil, kan?" Tanya ibu sukses membuat keduanya kompak menatap ibu dengan pandangan kaget.

Back to Me, Please?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang