"KENAPA ORANG ITU ADA DI SINI?!" Teriak Haris seraya menunjuk Bian dengan tatapan matanya yang terlihat marah.
Tiara yang duduk di samping Sarah dan meminum air putihnya sampai harus tersedak saking kagetnya dengan teriakan Haris. Benar-benar menggelegar hingga memenuhi ruangan tempat mereka berkumpul saat ini. Ruang keluarga.
"Ris!" Panggil Ibu mencoba mengingatkan. Tentu sikap sang anak hanya akan membuat semua orang di sana merasa tak nyaman. Apalagi Bian, pria itu tampak terdiam kaget tak menyangka jika sambutan dari mantan adik iparnya akan sangat jauh dari bayangan.
Padahal jika mengingat kembali saat dulu dirinya masih berpacaran dengan Sarah, Haris adalah anak yang cuek terhadap orang lain tapi bisa langsung akrab dengannya yang bisa dibilang masih menjadi orang baru.
Namun lihatlah sekarang. Bukan lagi cuek, Pemuda itu bahkan berani menunjukkan kebenciannya terhadap Bian yang di nilainya telah menyakiti sang kakak. Ikatan persaudaraan yang lumrah.
"Kenapa ibu ngebiarin orang itu buat masuk ke rumah kita?" Tanya Haris menatap Ibu.
Ibu menghembuskan napasnya dengan lemah. "Jaga ucapan kamu. Dia itu tamu kita."
Haris mendengus pelan. Ia lalu menatap Sarah yang duduk dengan kepala tertunduk dalam. "Kakak juga. Kenapa kakak bawa dia ke sini? Kakak lupa kalo orang ini—"
"Haris!" Panggil Ibu sedikit lebih tegas karena sang anak justru tak mau mendengarkannya. Beralih menatap Tiara yang sepertinya merasa canggung, tak ada yang bisa Ibu lakukan selain menarik anak laki-lakinya untuk pergi dari sana.
"Jangan pedulikan Haris. Kalian sebaiknya langsung istirahat," kata Ibu seraya tersenyum menatap Tiara dan Bian secara bergantian. Kembali menarik sang anak untuk masuk ke dalam kamar, Haris tak hentinya menatap Bian seakan memberi sebuah peringatan.
.
.Tiara—yang baru selesai mencuci wajah—membuka pintu kamar dan menemukan Sarah yang tengah membereskan pakaian.
Kamar bernuansa putih dan merah muda itu terlihat hangat bagi siapa saja yang melihatnya. Benar-benar mencerminkan kamar milik seorang wanita. Tiara sampai mengakui jika kamar tersebut benar-benar bagus bahkan lebih bagus dari kamarnya di Jakarta.
"Udah beres?" Tanya Sarah tanpa mengalihkan pandangannya dari tumpukan baju yang tengah ia lipat. Memilah baju, sebagian akan ia bawa saat ke kota nanti dan sebagian yang sudah tak terpakai akan wanita itu simpan di rumah. Mungkin sebagai baju ganti jika nanti dirinya pulang, di bagikan ke tetangga, atau mungkin di pakai baju ganti ibunya yang selalu pergi ke ladang.
"Udah," jawab Tiara lalu mendudukkan tubuhnya di tepi tempat tidur. Rasanya canggung bagi Tiara, jadi daripada memulai obrolan, ia lebih sibuk menggaruk lehernya yang sama sekali tak gatal.
Haris yang terlihat menakutkan saat marah, dan Bian yang seolah di usir padahal belum satu jam dirinya ada di rumah tersebut. Seketika rasa kasihan hinggap di hatinya. Bian terlalu percaya diri untuk bisa bersama lagi dengan Sarah sampai melupakan fakta jika pria itu harus melewati keluarga Sarah dulu.
Bukannya itu bisa disebut dengan ditolak sebelum bertindak? Yah, tapi mengingat gimana keduanya dulu bisa sampai bercerai, keluarga Sarah pasti yang lebih terluka. Iya kan?
Tiara mengangguk pelan membenarkan apa yang ada di pikirannya. Bian pantas mendapatkan kebencian dari Haris. Bahkan Tiara pun ikut geram mendengarkan cerita Sarah tentang Bian yang lebih berpihak pada keluarga tirinya.
"Maaf ya." Sarah berbicara tiba-tiba yang membuat Tiara langsung menoleh dan menatapnya dengan alis mengerut heran.
"Buat apa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Back to Me, Please?
Roman d'amourKarena gagal taruhan, Sarah harus menerima tantangan dari temannya yaitu dengan mendaftarkan diri di aplikasi kencan online. Siapa sangka, hal itu membuatnya harus bertemu dengan mantan suaminya yang juga ikut mendaftar di aplikasi tersebut. Bian ad...