bab 55

2.4K 178 10
                                    

"Dek, om boleh tanya alamat gak?" tanya Alvin menghentikan langkah seorang bocah yang berlari mengejar bola.

Menunduk untuk meraih bola yang ada di tanah, bocah itu menegakkan tubuhnya lalu berbalik dan melihat ke belakangnya.

Anak dengan rambut potongan cepak itu menatap Alvin lalu mengangguk tanpa mengeluarkan suara. Alvin yang melihat itu tersenyum lalu berjalan lebih dekat seraya membuka kertas alamat yang sebelumnya di tuliskan oleh Fandi. Menatap ke arah sekitar, tak ada yang bisa laki-laki itu tanyai selain anak-anak yang tengah bermain bola.

"Ehm..." Alvin bergumam pelan. Menatap kertas di tangannya sambil mengerutkan kening, mencari cara yang tepat untuk menanyakan alamat dengan dengan lebih spesifik, akhirnya sebuah anggukan menjadi keputusan Alvin yang terakhir.

"Toko kue Meldan Cake. Itu loh, yang jual banyak kue. Kira-kira kamu tau gak itu ada dimana?"

Bocah laki-laki itu sedikit memiringkan kepalanya ke arah kanan sebagai bentuk caranya berpikir. Kedua matanya bergerak ke atas, lalu turun lagi dan menatap Alvin seraya menggerakkan tangannya untuk menunjuk seorang anak yang tengah menggores tanah menggunakan ranting.

"Lan! Pacar mak lu nyariin!" teriak bocah berambut cepak itu dengan suara lantang yang membuat Alvin merasa kaget. Menoleh melihat sekitar, tampak anak-anak yang tengah bermain itu menjadikan Alvin sebagai pusat perhatian. Lalu beralih pada anak yang tengah menggores tanah seperti yang bocah di depan Alvin maksudkan, anak itu menolehkan kepalanya ke belakang lalu berdiri dengan perlahan.

Alan. Dengan wajah kebingungan. Menatap Alvin dari kepala sampai kaki.

Rambut yang telah di potong rapi, kumis tipis, jaket bomber yang Alvin miliki semenjak masa kuliah, dan juga celana Jeans biru. Berdiri dua meter di belakang tubuh Alan. Menatap anak itu dengan seksama, Alvin tiba-tiba mengerutkan keningnya sebab merasa kenal dengan anak di depannya.

"Alan?"

oOo

Berdiri di ambang pintu rumah sambil memangku tangan di perut, Bian memperhatikan Tiara beserta keluarga kecilnya berjalan memasuki pekarangan rumah. Senyuman sinis tak pernah ia lepaskan dari wajahnya saat melihat Tiara tanpa tahu malu malah tersenyum cengengesan menghampirinya.

"Selamat siang," sapa Tiara sedikit menundukkan kepalanya dengan gerakan hormat. Membuat Bian mendengus, Bian tentu tak merasa terkesan sama sekali.

"Ini udah mau sore."

"Tapi masih siang, kan?" tanya Tiara tak peduli meski saat ini dirinya tak mendapat sambutan hangat dari si tuan rumah.

Bian menarik napas cepat mengabaikan senyuman Tiara yang terus bertengger di wajah menyebalkan itu. Beralih pada Danu, Bian merasa jika dirinya lebih rela berbicara pada Danu dibandingkan kepada Tiara.

"Bukannya kamu bilang mau pindahan? Kenapa kok kayaknya santai banget? Malahan masih sempetnya main ke sini," ujar Bian pada Danu.

"Emang iya sih. Ini juga lagi pindahan kok," jawab Danu dengan santai.

Bian—yang tak mengerti—mengerutkan keningnya bingung lalu bergantian melirik Tiara beserta Dante yang setia menunggu reaksinya dengan senyuman aneh.
"Lagi pindahan?"

"Iya." Kali ini Tiara yang menyahut.

"Pindahan kemana?" tanya Bian mulai merasakan sebuah ancaman yang akan melanda di masa mendatang.

Danu dengan entengnya lalu menunjuk ke arah rumah di sebelah Bian seraya berkata. "Rumah yang ada di samping."

oOo

Back to Me, Please?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang