46. Mendekati akhir

3.3K 212 16
                                    

     "Alvin Pradipta?" Ulang petugas polisi seraya menatap dokumen yang di berikan Melodi dan sesekali menatap layar komputer.

     "Ini aneh. Beberapa saat yang lalu juga ada yang melaporkan orang ini kesini," lanjut pria itu membuat Melodi menatap dirinya dengan pandangan kaget.

    "Ada yang melaporkan?"

     Polisi itu kemudian mengangguk membenarkan. Menggerakkan tangannya di atas keyboard, dirinya berusaha mencari informasi terkait laporan yang dimaksudkan. "Sekitar 7 orang. Kasus mereka sama. Pelecehan dan juga pemerasan. Bahkan katanya, salah satu dari mereka ada yang sampai mengidap Androphobia*."

     "Tujuh orang?" Ujar Melodi tak percaya. "Korbannya sebanyak itu?"

     "Yah, itu hanya dihitung dari orang yang melapor. Sebagian mengatakan jika korbannya lebih banyak dari itu. Tapi sayangnya mereka lebih memilih bungkam karena pelaku telah mengancam para korban dengan video yang pelaku buat."

     Melodi mengerutkan keningnya bingung. Sekelebat ingatan muncul saat dimana Alvin memperkosanya. Lebih tepatnya setelah pria itu selesai dengan nafsunya. Alvin menunjukkan rekaman Video keduanya yang bermain dengan kasar dan mengancam Melodi untuk tidak memberitahu siapapun jika tak ingin videonya di sebar luaskan.

     Membayangkannya kembali membuat perut Melodi terasa mual. Dirinya benci mengingat kembali kejadian terkutuk itu. Menautkan kedua tangannya dengan erat, Melodi mencoba mengenyahkan ingatan tersebut seraya kembali menatap petugas polisi dengan pandangan penuh harap.

     "Kasusnya akan segera di tindak lanjuti, benar, kan pak?"

     Polisi itu terlihat mengerutkan keningnya lalu mengangguk dengan cepat. "Dilihat dari banyaknya yang melapor, saya rasa tidak butuh waktu lama bagi kami untuk meringkus sang pelaku. Nona tenang saja, kami akan segera menangkap orang itu secepatnya."

[*Androphobia : Takut terhadap laki-laki]
.
.

     Melodi berjalan keluar dari kantor polisi dengan langkah lebar serta hembusan napas panjang merasa lega.

     "Membusuklah di penjara. Dasar brengsek!" Gumam Melodi merasa amarahnya mulai bisa terobati. Ya, walaupun tidak semuanya, tapi itu cukup untuk sedikit menghibur hatinya yang mencemaskan masa depan.

     Menatap jalan raya di depannya dengan pandangan sedih, saat itu ponselnya yang ada didalam tas berbunyi yang membuat Melodi buru-buru mengambil benda pipih tersebut dari tasnya.

     Tertera nama 'Mamah' di sana yang berarti Jihan sang penelepon.

     "Halo Mah?"

     ["......."]

     "Apa?! Rentenir?" Suara Melodi memekik sedikit keras yang mengakibatkan orang-orang di sekitar menatapnya heran. Berjalan dengan terburu-buru, wanita muda itu kemudian menyetop taksi yang melintas lalu masuk setelah mobil tersebut berhenti di depannya.

oOo

     Bian tengah memotong kaca untuk jendela saat Sarah datang dan langsung berjongkok didepannya.

     "Wah... Senang rasanya punya seseorang yang bisa di andalkan," komentar wanita cantik itu membuat Bian tersenyum seraya menatapnya.

     Besar kepala adalah sebutan untuk orang sombong. Dan itulah sebutan yang cocok untuk Bian saat ini. "Aku udah bilang, kan? Aku ini bisa segalanya. Kalo nanti kita nikah, kamu gak perlu khawatir akan apapun. Dan saat nanti anak kita udah dewasa, aku yang bakal ngebangun rumah anak kita nantinya."

Back to Me, Please?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang