Ada suatu masa, ketika Melodi membuka mata, suara merdu seorang laki-laki dewasa akan menyambutnya dengan sambutan yang begitu hangat dan menyenangkan. Lalu di susul oleh suara anak laki-laki yang menggerutu akan keterlambatannya menuju sekolah, hal itu disebabkan karena ayah mereka yang seakan enggan membangunkan Melodi karena merasa sayang.
Sosok seorang laki-laki penyayang yang saat ini wajahnya pun tak terlalu Melodi ingat. Ayah tirinya, Ayah dari Bian. Laki-laki yang selalu memberinya kasih sayang yang tak pernah Melodi dapatkan dari ayah kandungnya.
Terbangun di kamarnya yang berukuran 2×3 meter. Melodi harus menelan pil pahit saat menyadari jika kehidupannya kini berubah 180°.
Tidak ada kehidupan yang mudah. Dulu, mungkin ia berpikir apapun yang ia inginkan akan bisa tercapai semudah menjentikkan jari. Ayah tiri yang baik, ibu yang akan memberikan apapun yang diinginkannya, dan juga kakak yang memberikan kasih sayang berlimpah ruah. Dulu Melodi merasa tak perlu mengkhawatirkan apapun karena beranggapan jika semuanya akan baik-baik saja. Yah, itu dulu.
Namun kini, seperti bermimpi buruk, Melodi harus bisa menerima keadaannya, bahwa kehidupan menyenangkannya harus berakhir ketika dirinya mulai tumbuh menjadi dewasa. Entah sejak kapan itu semua dimulai, Melodi sendiri bahkan tak lagi bisa mengingatnya.
Menghembuskan napas. Melodi merasa harus mulai bisa melupakan sejenak masalah yang kini tengah melandanya. Ia harus mulai menyiapkan sarapan untuk anaknya sebelum pergi ke sekolah.
.
."Libur?" tanya Alan bernada bingung saat mengetahui jika ibunya akan menutup toko. Tidak ada acara khusus, tapi kenapa harus libur?
Melodi yang sibuk berkutat dengan kompor dan penggorengan di depannya mengangguk yang hanya bisa di tatap bingung oleh Alan. Anak dengan seragam sekolah dan tengah menunggu sarapannya selesai, berdiri di belakang Melodi tanpa bisa mendengarkan jawaban yang pasti.
"Hari ini Bunda akan antar Alan ke sekolah," kata Melodi meletakkan telur mata sapi ke dalam piring lalu berbalik. Meraih sebelah tangan Alan agar mengikutinya duduk di sebuah meja kecil, hal yang pertama mengganggu pikiran Alan adalah saat melihat menu sarapannya yang hanya sebuah telur mata sapi. Hanya satu, yang berarti ibunya tak akan ikut sarapan.
"Alan bisa pergi sendiri, kok." Alan menunduk. Mulai bisa mengerti dengan maksud dan jalan pikiran ibunya. Meskipun dirinya terbilang masih kanak-kanak, tapi daya pekanya cukup tinggi untuk bisa membaca situasi yang tengah dihadapi oleh Melodi.
Melodi tersenyum mengusap kepala Alan dengan amat lembut, penuh kasih sayang. "Apa Bunda gak boleh lihat sekolah Alan?"
"Sebenarnya boleh."
"Jadi, apa Bunda boleh antar?"
Alan mengangguk pelan yang membuat senyuman Melodi semakin mengembang.
"Ayo makan sarapannya," ujar Melodi melepaskan usapan tangannya di kepala sang anak untuk selanjutnya merapikan alat makan Alan di atas piring.
Tanpa bergeming, Alan hanya bisa menunduk menatap piring berbahan keramik putih di depannya dengan raut sedih. "Bunda."
"Hm?"
"Apa sekarang Bunda gak punya uang?" tanya Alan berhasil membuat Melodi terkecoh. Kaget tentunya, bagaimana bisa anaknya sadar akan keadaannya yang memang tengah bingung memikirkan masalah uang.
Tersenyum, hal yang pertama kali terlintas di pikiran Melodi adalah agar tidak membuat anaknya merasa sedih. "Ada kok. Kenapa Alan tanya begitu? Apa Alan mau uang jajannya di tambah?"
"Bunda jangan bohong. Bahkan sekarang, di dapur udah gak ada beras, kan?" tanya Alan tanpa mengangkat kepala.
Melodi terperangah, tapi sebisa mungkin mencoba untuk menyembunyikan rasa terkejutnya dari sang anak. "Itu karena Bunda belum beli. Bunda lupa."
KAMU SEDANG MEMBACA
Back to Me, Please?
RomanceKarena gagal taruhan, Sarah harus menerima tantangan dari temannya yaitu dengan mendaftarkan diri di aplikasi kencan online. Siapa sangka, hal itu membuatnya harus bertemu dengan mantan suaminya yang juga ikut mendaftar di aplikasi tersebut. Bian ad...