BAGIAN 70 Ketika Matahari Menunjukan Kekuatannya

4.7K 114 29
                                    


Pov Angger

Gerhana bulan telah lewat dan saat ini bulan kembali bersinar dengan sangat indahnya, tapi semua berbanding terbalik dengan isi kepalaku.

Penculikan terhadap Tante Lia dan Ayah yang saat ini mengejar para penculiknya, membuat otakku berpikir keras, bagaimana hasil akhir dari semua ini. Apakah Ayah dan teman – temannya bisa menyelamatkan Tante Lia atau malah sebaliknya, Tante Lia akan menjadi korbal ritual dari para binatang itu.

Aku tidak bisa tenang dengan keadaan ini dan jiwa membunuhku meronta – ronta, menginginkan darah para penculik itu. Tapi apa mau dikata, Ayah sudah melarangku menyusul dan beliau ingin aku menunggu kabar dikampus teknik kita. Akupun hanya bisa menuruti perintah Ayah, walaupun aku bisa gila dengan keadaan ini.

Sudah lebih dari satu jam aku menunggu, tapi sampai detik ini belum ada kabar apapun dari Ayah. Menunggu ini seakan – akan membunuhku perlahan dan rasa tersiksanya itu sangat menyakitkan.

Ingin rasanya aku melanggar perintah Ayah, tapi disini ada Onty Ana dan juga Onty Ita yang masih melepas kangen dengan kami.

Oh iya, saat ini kami semua masih bersantai didepan kampus teknik kita. Aku, Dede Gagah, Banyu, Bang Badai dan Mas Karel duduk di trotoar, sementara Onty Ana dan Onty Ita duduk bersandar dipagar kampus. Om Panji baru saja masuk kedalam kampus, karena didalam sana, banyak sekali senior – senior angkatannya yang datang, untuk berpesta bersama panitia keamanan.

Bang Badai tidak ikut kedalam, karena ditahan oleh kedua Ontyku dan Bang Badai tentu saja tidak bisa menolaknya.

"Nih. Kamu bisa gila kalau gak ngemut permen." Ucap Onty Ana sambil menyodorkan sebuah permen kepadaku dan kelihatannya Ontyku ini paham kalau aku sedang tidak baik – baik saja.

"Terimakasih Onty." Ucapku dan ketika aku mengambil permen ditangannya, Onty Ana memegang erat batang permennya.

Aku yang bingung dengan sikap Onty Ana ini hanya menatapnya, sambil memegang bulatan permen yang masih terbungkus.

"Senyum dulu dong. Onty kangen sama senyummu." Ucap Onty Ana, lalu diakhiri dengan senyum manisnya.

Akupun langsung mengembangkan kedua bibirku, tapi aku menutup rapat bibirku, sehingga tidak terlihat gigiku.

"Mahal banget sih senyummu itu.?" Tanya Onty Ita dan Onty Ana akhirnya melepaskan pegangannya dibatang permen. Akupun langsung memutar – mutarkan batang permen disela – sela jariku, seperti orang – orang yang memutarkan batang rokok.

"Bukan mahal De. Dia tau kapan akan tersenyum dengan ikhlas dan kapan akan tersenyum dengan sabar." Ucap Onty Ana ke Onty Ita

"Kenapa harus lari ke ikhlas dan sabar.? Terus bedanya ikhlas dan sabar itu apa.?" Tanya Dede.

"Orang yang sabar itu, belum tentu ikhlas. Tapi kalau orang yang ikhlas, pasti dia sabar." Jawab Onty Ana.

"Cuman itu aja penjelasannya.?" Tanya Dede lagi sambil mengeluarkan bungkusan rokoknya, lalu mengambilnya sebatang dan membakarnya.

"Orang sabar itu biasanya suka memendam dan mengeluarkannya lewat senyuman. Tapi jeleknya, kalau sudah menumpuk, orang yang sabar itu bisa menggila."

"Sedangkan orang yang ikhlas, dia akan terus tersenyum dan melepaskan apapun itu, sehingga tidak ada lagi ganjalan dihati." Ucap Onty Ana dan aku langsung mengantongi permen pemberian Onty Ana.

"Terus menurut Mba, Angger ini type yang mana.?" Tanya Onty Ita.

"Kalau keponakanku ini, tentu saja type yang penyabar." Ucap Onty Ana yang duduknya tidak jauh dari aku, lalu dia mengelus rambutku pelan.

M A T A H A R ITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang