"Kabarin aku setiap 30 menit."
Elara Livya Larissa, gadis yang membuat pria sedingin kulkas dan secuek Nathan Neo Dilhar luluh.
Mereka adalah definisi she fell first but he fell harder.
(Penggemar minim konflik mari merapat)
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
-
"Aku harus bilang berapa kali Ra? Kabarin aku setiap 30 menit! Tadi juga, cowo brengsek bareng kamu itu siapa?" tanya Nathan tersulut emosi karna melihat gadisnya ini duduk disamping pria yang sama sekali tidak dikenalinya.
Walaupun mereka gak berduaan tapi tetap saja, siapapun itu Nathan gak suka kalau Elara sampai harus deketan begitu.
Andai saja Elara tidak menahan Nathan tadi, sudah pasti Farrel bakal bonyok disitu juga.
"Aku minta maaf Nat, tadi handphone aku ketinggalan di kelas. Tadi juga aku ngantuk banget, makanya aku ke perpus pengen tidur. Tapi tu cowo gak tau dateng dari mana terus samperin aku." jelas Elara, tangannya bergerak menggenggam tangan Nathan.
Berharap agar sentuhannya bisa menurunkan emosi pacarnya itu. Dan benar saja, Nathan langsung menbuang nafasnya kasar. Tangannya yang satu lagi digunakan untuk mengusap lembut pipi Elara.
"Kali ini aku maafin. Tapi inget lain kali bawa handphone kamu ke mana pun dan kabarin aku setiap 30 menit. Eh tapi mulai detik ini aku ubah jadi 15 menit. Dan jangan deket dengan lelaki mana pun. Ngerti?"
Elara mengangguk polos.
"Bagus."
Elara tidak keberatan dengan sikap Nathan yang bisa dibilang lumayan posesif, toh ia juga pacarnya Nathan. Wajar kan kalau diposesifin. Lagipula Elara suka diposesifin. Karna menurutnya, terkesan lebih dihargai dan dijaga aja gitu. Ada yang sama?
"Maafin aku udah tinggiin suara tadi." gumam Nathan namun masih bisa didengari dan menarik Elara dalam dekapannya.
"Gakpapa. Maafin aku juga soal tadi." Elara membalas pelukan Nathan erat.
"Badan kamu panas." ujar Nathan ingin melepaskan pelukan Elara. "Ih jangan dilepas." Elara semakin mengeratkan pelukannya.
Kepalanya sedikit pusing.
"Kamu tidur jam berapa semalam?" tanya Nathan.
Hening. Elara menolak menjawab pertanyaan Nathan. Elara yakin Nathan bakal marah gak jelas kepadanya. Kepala nya sudah cukup pusing untuk mendengarkan semua itu.
"Tch." Nathan berdecak kesal dan menaikkan kaki Elara ke pinggangnya, ia menggendong Elara ala koala.
"Nathan... pusing..." Elara membenamkan mukanya di ceruk leher Nathan, menghirup aroma tubuh Nathan yang bisa membuatnya tenang.
"Iya sayang, bentar ya." Nathan menepuk-nepuk punggung Elara perlahan. Langkahnya dilajukan, Nathan membawa Elara ke secret hideout mereka di sekolah ini. Masih inget ruangan rahasia milik Black Rumble?
Nathan membaringkan Elara di kasur ruangan itu dan mencari obat yang memang ia sediakan untuk situasi seperti ini.
Mengingat Elara yang keras kepala pasti bakal melanggar peraturannya. Gadis itu gak pernah kapok walaupun akhirnya merengek kesakitan karna kepalanya sakit.
"Bangun dulu, obatnya diminum."
"Gakmau..." rengek Elara, tangannya menolak tangan Nathan yang memegang beberapa biji obat agar menjauh darinya.
"Harus mau Ra, kepala kamu pusing kan?" bujuk Nathan sabar, masih setia memegang obat-obatan itu di tangannya.
"Ih aku gakmau Nathan... Huaaaa... Kamu kok maksa sih hiks..."
Nathan sedikit gelagapan melihat Elara yang tiba-tiba nangis. Yatuhan, padahal niat Nathan baik, kenapa gadisnya itu malah nangis?
"Kenapa malah nangis sih sayang. Yaudah obatnya aku taruh lagi. Sini..." Nathan menarik Elara dalam pelukannya.
"Shh jangan nangis, nanti kepalanya makin pusing." Setelah beberapa menit, dengkuran halus mulai kedengaran. Elara terlelap didekapan Nathan.
Nathan tersenyum, ia kemudian membaringkan Elara perlahan dan menarik selimut menutupi tubuh Elaranya.
"Pacar bandel, untung sayang."
Nathan mendaratkan kecupan lembut di dahi Elara sebelum keluar sebentar dari ruangan itu. Nathan mau ke kantin dan belikan Elara makanan sebelum gadisnya itu bangun dari tidurnya.
Untung kantin lagi sepi karna jam pelajaran masih berlangsung. Jadi tidak perlu berbaris. Nathan memesan bubur ayam dan teh hangat.
Sementara menunggu Nathan memilih untuk duduk seketika. Hingga ia merasakan tepukan lembut dibahunya.
"Hiiii." cewe itu menyapa Nathan ramah bahkan tersenyum selebar yang mungkin.
Nathan tidak membalas sapaan itu sebaliknya ia hanya menatap datar tangan yang masih setia menyentuh bahunya dengan lancang.
"Eh sorry, gue gak sengaja." ucap gadis itu yang tidak lain tidak bukan adalah Anna.
Nathan hanya mengangguk dan kembali menatap ponselnya. Mengabaikan kehadiran Anna. Tidak penting juga untuk dirinya.
Merasa canggung, Anna memulakan obrolan dan duduk disamping Nathan tanpa izin. "Lo ngapain di kantin?" tanya Anna basa basi.
"Beli makanan." jawab Nathan singkat. Bahkan sedikit menggeser kedudukannya agar sedikit menjauh dari Anna.
"Oh yaaa buat siapa? Temen lo ya? Atau buat lo sendiri?" tanya Anna.
"Pacar."
Anna langsung terdiam. Ternyata Nathan masih sama Elara? Padahal Anna berharap mereka berdua gak bakal tahan lama. Kenapa malah langgeng?
Padahal kalau diliat Elara itu gak ada apa-apanya dibanding dirinya. Dari dulu Anna selalu yakin dan percaya diri dengan kecantikannya. Anna juga yakin Nathan pasti pernah kagum dengan paras wajahnya yang diatas rata-rata ini.
Tapi kenapa Nathan malah pilih cewe modelan Elara? Masih mending dirinya ke mana mana. Huft.
"Bos pacar lo nangis ni. Gue masuk tadi dia langsung nangis. Muka gue nakutin dia kali." ucap Devan.
"Lo tenangin Elara, gue ke sana sebentar lagi." perintah Nathan terdengar sedikit panik.
"Nak ini pesanannya."
Nathan mengambil makanan itu dan menghulurkan uang 50 ribu "Kembaliannya ambil aja." ucapnya lalu berlari meninggalkan Anna yang tersulut emosi.
"Dasar cewe perampas."
-
"Huaa lo ngapain disini! Nathan mana hiks..." Elara menunjuk Devan dengan air mata mengalir deras.
"Yaampun Ra, gausah pake nangis juga kali. Bentar lagi pacar lo dateng." ucap Devan menenangkan.
CKLEK
"Ra?"
"HUAAA NATHAN JAHAT NINGGALIN AKU..."
Nathan meletakkan makanan yang ia bawa dari kantin di atas meja dan menghampiri Elara yang kini nangis sesegukan.
"Kenapa nangis Ra, tadi aku keluar sebentar beliin kamu makanan di kantin." Nathan mengusap punggung Elara, menenangkan gadisnya itu yang sesegukan.
"K-Kenapa hikss ngga bilang."
"Yaudah. Maafin aku yah. Atur nafasnya sayang, jangan nangis lagi." Nathan melepaskan pelukannya dan mengusap air mata dan ingus Elara tanpa jijik. Tangannya juga merapikan rambut Elara yang terlihat berantakan.
"Yaampun gue disini sebagai ubat nyamuk doang kayaknya."