59. roti delapan tumpuk.

99 21 1
                                    

Jeng jeng jeng..
GANA kembali! Ada yang kangen? Ada gak? Enggak, ya? Yaudah gapapa, tetep Up kok meskipun absennya sampe 2 minggu 🤣

•••••

"Sasa."

Yang pertama kali menyadari kedatangannya adalah Zelda, lalu di sambung  Hendra yang langsung bangkit dan sinta mengikuti.

"Sasa, kamu datang juga." Ucap sinta. "Kamu pasti mau jenguk ayah kamu, ya? Silakan, kebetulan kita udah selesai." Lanjutnya dengan nada terbata karena canggung.

Dengan ekspresi datar dan dingin, Sanggana mengangkat tangannya. "Gak usah buru-buru, saya sebentar kok."

"Ada apa, nak? Tumben sekali kamu jenguk ayah." Pria paruh baya itu angkat bicara juga.

Sanggana mendengus seraya tersenyum skeptis dalam hatinya. Inikah sambutan untuknya?

Zelda merasa canggung dan tak nyaman saat Sanggana memergoki kebersamaannya bersama Hendra dan sinta. Ia yang sedari tadi duduk di tengah Sinta dan Hendra bangkit berniat mendekati sahabat, maksudnya mantan sahabatnya.

"Sa, lo jangan marah, ya. Gue sama nyokap kesini karena-"

"Gue gak peduli." Sanggana memotong ucapannya dengan acuh lalu beralih menatap Sinta. "Oh.. Selamat ya, tante. Akhirnya menghirup udara bebas."

Sanggana benar-benar mempertahankan ekspresi wajahnya sedatar dan sedingin mungkin, bukan karena Sanggana masih memiliki dendam, namun ia hanya sedang menahan agar hatinya tak terluka melihat mereka.

"Terima kasih banyak, Sa. Terima kasih kamu udah capek-capek datang ke sini dan menyambut kebebasan saya."

Tunggu, menyambut? Menyambut dia bilang?

Sanggana terlihat menahan tertawa sejenak tanpa membuka mulut, dirinya tak berniat sama sekali untuk menjawab ucapan wanita itu.

"Akhirnya kamu datang, nak. Cucu ayah mana?"

Terdiam sejenak mendengar pertanyaan yang jauh dari ekspektasinya. Tidakkah sang ayah merindukannya? Tidakkah sang ayah ingin tahu kabarnya? Atau setidaknya menunjukkan bahwa Sanggana masihlah putri yang dulu ia puja. Tahukah sang ayah ia begitu rindu, namun saat akhirnya Sanggana melangkahkan kaki untuk menemuinya, tak terucap rindu yang berbalas. Malah cemburu membakar hati saat melihat kebahagiaan sang ayah dengan keluarga barunya

Glupp!

terlalu pahit. Bahkan untuk menelan salivanya sendiri saja begitu sulit. Kenyataan selalu mengecewakan Sanggana ketika ia benar-benar berharap. Sesulit itu untuk memastikan hatinya aman dan tak terluka. Padahal Sanggana sudah melupakan semua yang mereka lakukan padanya, akan tetapi ia tetap tak bisa terbiasa merasa di campakkan oleh Hendra. Tak pernah sekalipun, bahkan ketika ia pergi sekian lama meninggalkan rumah, Hendra tetap orang nomor satu yang begitu perhatian dan melakukan segala hal untuknya.

"Sa, cucu ayah mana? kamu sendiri? Hh.. ayah pikir kamu ajak Seajina, kamu tau? ayah sangat ingin melihat cucu ayah, sejak dia lahir ke dunia ini ayah belum pernah bertemu langsung. Kenapa kamu gak bawa Seajina ke sini?"

Perlahan Hendra melangkahkan kakinya ke arah Sanggana yang bersamaan dengan itu berusaha menjaga jaraknya dengan sang ayah.

"Kenapa? kamu gak mau dekat sama ayah? Kok kamu menghindar." Hendra terlihat memasang wajah sedih.

Dan Sanggana yang mengalihkan pandangannya seraya menahan airmatanya.

"Aku pamit."

Kepala Hendra lantas bergerak mengikuti Sanggana yang menyerahkan sebuah paper bag merah khasnya yang ia simpan pada kursi yang berada tepat di samping sang ayah.

GANA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang