Hampir semalaman Satya terus berkutat dengan dokumen-dokumen itu. Bahkan ia sampai tertidur dimeja bersama lembaran-lembaran dokumen yang papanya berikan. Suara ketukan pintu yang setelahnya diikuti dengan suara pintu yang terbuka membangunkan Satya dari tidur singkatnya."Bangun Satya, sarapan! Setelah itu temui papamu. Tunjukkan padanya apa yang telah kamu pelajari semalam", ucap mamanya sambil kembali menutup pintu kamar Satya.
Satya masih berusaha mengumpulkan nyawanya, matanya mengerjap beberapa kali untuk memperjelas penglihatannya. Ia menghela napas berat, lantas melangkahkan kakinya menuju kamar mandi untuk membersihkan diri dan setelah itu turun kebawah untuk sarapan bersama.
Suara dentingan piring dan sendok memenuhi ruang makan. Tak ada yang membuka suara diantara mereka bertiga. Satya sudah terbiasa dengan hal ini. Memang tidak pernah ada canda dan tawa seperti yang ia dapat saat bersama teman-temannya.
Satya telah selesai dengan makanannya, kini ia berniat untuk naik kembali ke kamarnya. Hingga suara berat menghentikan langkahnya.
"Ikut ke ruangan papa", ucapnya dengan tegas.
Satya pun hanya pasrah dan menurut,"Iya pa".
Kini ia tengah berada di ruangan papanya. Dihadapannya kini ada papanya yang tengah memperhatikannya dengan seksama.
"Kamu ngga bakal mempermalukan papa dipertemuan kali ini kan? Pastiin kamu hafal semuanya. Kalau kamu masih payah, papa akan bawa kamu ke luar negeri. Biar kamu disana diajar dengan orang-orang yang profesional hingga bisa menjadi pebisnis seperti papa. Sekarang kamu tunjukin ke papa apa yang udah kamu pelajari semalam", Satya lantas menunjukkannya pada papa nya.
Beruntung kali ini Satya mampu menjelaskannya dengan baik. Papanya membiarkannya kembali ke kamar.
Menyebalkan memang, urusan perusahaan adalah urusan papanya, tapi ia dipaksa harus ikut dalam setiap pertemuan dengan rekan kerja papanya. Di pertemuan itu nantinya papanya akan memamerkannya pada rekan-rekannya.
Papanya sangat menuntutnya untuk menjadi seorang pebisnis. Jurusan kuliah pun papanya yang menentukan, Satya tidak diberi hak untuk menentukan pilihannya sendiri. Selama ini ia menjalankannya secara terpaksa. Ia tak mampu untuk melawan. Bukan--bukan tak mampu, tapi ia terlalu takut melakukannya.
-------------------
Kini Satya tengah berada di sebuah restoran mewah bersama papanya. Dihadapannya kini ada banyak laki-laki yang usianya jauh lebih tua darinya. Mereka adalah rekan kerja papanya, beberapa dari mereka juga membawa anak laki-lakinya yang dapat ia tebak nasibnya hampir mirip dengannya.
"Wah Satya, minat kamu soal masalah perusahaan emang bener-bener keren. Kamu bahkan lebih muda dari anak saya, tapi kamu udah mulai ikut serta soal perusahaan. Kayanya udah siap buat gantiin peran papanya diperusahaan nih, hahaha", ucap salah satu rekan kerja papanya yang diiringi dengan tawa.
Satya hanya membalas dengan senyuman, tak lama terdengar suara berat dari papanya.
"Tentu dong, dia ini semangat banget buat belajar soal perusahaan. Bahkan tiap hari tanpa diminta dia coba memahami dokumen-dokumen yang ku punya. Sebenarnya aku masih ingin melihat dia main sama temen-temennya, tapi dia sendiri yang maksa buat belajar soal perusahaan lebih awal", ucap papanya sombong. Satya yang mendengar itu hanya bisa mengumpat dalam hati.
"Manusia satu ini emang mulutnya ga pernah dizakatin, boong terus. Udah tua kelakuannya makin-makin", ucap Satya dalam hati.
Selama pertemuan itu Satya banyak ditanya soal masalah yang berhubungan dengan perusahaan. Beruntung kali ini ia bisa menjawab dengan benar. Setidaknya untuk hari ini ia tak akan mendapat hukuman dari papanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Emergency Calls
Fanfiction- Pelangi memang muncul setelah hujan, tapi tidak setiap hujan memunculkan pelangi - Mereka kira kebahagiaan adalah milik setiap manusia, tapi ternyata kebahagiaan hanya milik kesayangan semesta. Our emergency calls, tempat mereka mencurahkan semua...