40. Dilemma

561 54 10
                                    

Kini Nata tengah duduk bersama seseorang yang ia panggil dokter, sedangkan Harsa menunggu diluar. Ini bukan rumah sakit ataupun klinik umum. Nata tengah berhadapan dengan seorang psikiater.

Sebelum kesini, Nata sempat pingsan di rumah tadi, yang membuat Harsa panik dan buru-buru membawanya ke IGD. Setelah diperiksa, tak ada kondisi serius yang menjadi penyebab Nata pingsan. Namun kondisi Nata yang nampak linglung, dokter menyarankan untuk Nata pergi konsultasi kembali.

"Dok, Nata gila ya?", tanya Nata. Dokter itu sudah banyak menerima pertanyaan seperti jadi ia tak lagi kaget.

"Hm? Engga, Nata sehat kok", ucapnya.

"Tapi Nata terus-terusan ketemu dokter, itu artinya Nata gila, Nata sakit jiwanya", terang Nata.

"Siapa bilang? Nata kesini kan cuma ngobrol sama dokter, nih buktinya, sekarang dokter gaada ngapa-ngapain Nata kan? Daritadi kita cuma ngobrol", jelas dokter itu, dan Nata pun terdiam.

Dokter menduga bahwa gejala yang muncul pada Nata ada indikasi dari Prolonged Grief Disorder. Gangguan ketika seseorang terlalu larut dalam sedihnya. Tanda yang dialami oleh Nata adalah gangguan tidur dan juga kecemasan.

Kondisi Nata sebelumnya sudah membaik, tapi entah mengapa, kini keadaannya kembali menurun. Dokter menduga ada hal yang memicu gejala tersebut untuk kembali muncul. Entah pembullyan yang kembali ia dapatkan, atau hal lain yang memicu mentalnya menjadi tidak stabil.

"Ada yang ganggu Nata lagi?", tanya dokter itu. Nata menggeleng.

"Terus?", tanya dokter lagi.

"Nata pengin bunda dokter. Nata pengen bunda sayang sama Nata lagi. Kemarin Nata datengin bunda, tapi bunda malah marah-marah ke Nata, bunda teriak-teriak ke Nata, bunda masih terus nyalahin Nata.

Ayah pergi gara-gara Nata ya dok? Nata juga yang bikin bunda kaya gitu ya? Bunda bilang Nata pembawa sial, apa temen-temen Nata pergi karena Nata juga?", ucap Nata sendu.

Benar, ternyata ada pemicu dibalik kambuhnya Nata. Bundanya Nata sama sakitnya dengan Nata. Ia masih belum menerima kepergian suaminya, dan ya, Nata lah yang menjadi sasarannya.

Ibu panti sudah memperingatkan Nata untuk jangan datang sendiri kesana. Tapi karena terus mendapat penolakan setiap kali ia mengajak ibu pantinya ke sana, ia akhirnya nekat pergi sendiri. Tentu bukan tanpa alasan ibu panti melarangnya, ia tak ingin, hal seperti ini terjadi, lagi.

"Nata tau sendiri kan, apa penyebab perginya ayah Nata? Ayahnya Nata pergi karena musibah, bukan karena Nata. Manusia ga bisa menghindar dari musibah, karena memang, hidup itu ga melulu soal kebahagiaan. Nata pasti sering denger dokter ngomong gitu kan? Nata pasti bosen tiap kali konsul, dokter selalu ngomongin hal itu, iya kan?", Nata mengangguk.

"Nata tau ngga kenapa dokter selalu nekanin hal itu ke Nata? Itu karna dokter gamau ngliat Nata yang terus terpuruk karena musibah yang Nata dapetin. Semua manusia pasti pernah ngalamin musibah, dan itu pasti menyakitkan buat dijalani, atau bahkan sekedar di ingat.

Nata bilang Nata gamau lagi ketemu sama dokter, Nata bilang Nata benci tiap kali dokter ngasih obat ke Nata. Kalo Nata gamau lagi ketemu sama dokter, gamau lagi minum obat dari dokter, ayo Nata usaha dong. Nata harus bangkit dari keterpurukan yang Nata alami.

Yang bisa bikin Nata sembuh itu diri Nata sendiri. Coba lapangin hati Nata, coba terima semua yang memang udah jadi takdir Nata. Kalau Nata terus denial, enggan bangkit, ya nanti makin lama pisah sama dokternya, makin lama juga lepas dari obatnya", Nata mengangguk mendengar penuturan dokter.

"Nata bisa nggak janji sama dokter? Kalo selama sebulan kedepan Nata bisa kendaliin diri dan ngga kambuh sama sekali, dokter bakal anterin Nata ke tempat bunda. Mau?", Nata yang mendengar itu tentu senang.

Our Emergency Calls Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang