BAB 38

321 51 0
                                    

"Kotaro-san, bagaimana kondisi Ojisan?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Kotaro-san, bagaimana kondisi Ojisan?"

Seorang pria berusia sekitar 25 tahunan dengan setelan dokter dan stetoskop terkalung di lehernya, menghela nafas kecil dan memijat kulit diantara alisnya.

"Noa, ini sulit tapi... sepertinya beliau nggak akan bisa bertahan lebih lama lagi. Klasik emang gue ngomongnya, tapi emang kayak gitu keadaannya sekarang. Gue sampe gabisa ngomong apa-apa selain ini."

Noa menutup wajahnya dengan sebelah tangan. Tidak sanggup melihat Akarui dengan beberapa bagian tubuh yang diperban dan dipasangi banyak peralatan medis.

Sebenarnya Noa sudah menduga ini akan terjadi. Namun dia berusaha yakin bahwa semuanya akan membaik dan untuk sementara dia membohongi Haruto agar anak itu tenang.

"Apa gak ada cara lain?" tanya Noa hampir putus asa. "Gue gak bisa biarin Haruto menderita lagi dan kesulitan seperti saat Obaasan pergi dulu."

Kotaro, seorang dokter kepercayaan keluarga Watanabe sekaligus teman dekat Noa sewaktu SMA, menggeleng pelan. "Gue udah ngerahin apa aja yang bisa gue lakuin, No. Tapi Tuhan mau kasi Haruto takdir yang lain," ujarnya lirih.

Noa bergerak mundur, mendudukkan diri di sofa yang ada di kamar rawat inap. Terlihat sangat lelah dan putus asa. Membayangkan bagaimana reaksi adik sepupunya yang pastinya akan ngotot lagi untuk pulang ke Jepang sendirian jika dia tahu ini.

"Gue harus ngomong apa sekarang ke Haruto? Otousan-nya gak bisa bertahan hidup?" Suara Noa terdengar mengambang.

"Noa-san, jangan ngomong gitu, please." Kotaro ikut duduk di sebelah Noa dengan raut muka khawatir dan tentunya... bersalah.

Tapi Kotaro hanyalah manusia biasa. Menolong mereka yang membutuhkan sebisanya saja. Dia tak punya kuasa Tuhan yang bisa melakukan apapun di luar nalar manusia.

"Sorry, gue terlalu kalut. Gue nggak bermaksud seperti itu. Maaf, gue malah kayak gini." Noa segera menyadari perbuatannya. Itu membuatnya terlihat kekanak-kanakan dan tanpa sengaja menyinggung perasaan Kotaro.

"No, no problem, gue ngerti perasaan lo saat ini," ujar Kotaro. "Gue bakal lakuin apa yang gue bisa, No. Kita akan coba segala kemungkinan. Ya? Lo tenang aja," ujar Kotaro, berusaha kembali menguatkan Noa.

Tak ingin memperpanjang obrolan yang muluk-muluk, Noa mengangguk pelan. Memuaskan Kotaro yang sangat khawatir.

"Sebaiknya sekarang lo istirahat. Lo keliatan capek. Biar gue yang urusin ojisan lo," saran Kotaro. "Lo mau nginep di rumah gue nggak? Kayaknya udah kemaleman kalo lo pulang sekarang. Biasanya kan, ada teke-teke yang suka keliaran di jam segini. Hiihh."

Random banget nih orang, batin Noa. Tapi dia setuju. Apalagi belakangan ini dia agak parno setelah menonton film horor lawas tentang hantu setengah badan itu.

"Kalo gitu gue disini aja. Gue pamit mau sama Otousan kalo gue nemenin Ojisan disini," ujar Noa halus. "Pulang ke rumah lo kayaknya juga bakal makan waktu yang lama. Sama aja, ntar ketemu teke-teke."

Kotaro akhirnya mengiyakan, dengan sedikit kesadaran kalau tawarannya tadi sangat konyol. "Ah, iya juga. Kalo gitu, mau gue bikinin minum nggak? Kopi?"

Noa tersenyum tipis. "Es teh anget... eh bukan, teh anget maksud gue." Kebiasaan.

Kotaro mengangguk. "Oh, okeh. Gue liat dulu di pantry." Setelah itu dia beranjak pergi diiringi pandangan Noa yang tak kunjung putus darinya.

Drrt...! Drrtt...!

"Eh?" Noa merogoh saku celananya karena merasakan getaran sebuah benda persegi panjang pipih yang dia saku disana.

Layarnya menampilkan sebuah foto seorang laki-laki berwajah tegas dan ikon telepon hijau berwarna merah dan hijau di bagian bawah. Di bagian atas, ada sederet kalimat berbunyi 'Jaruti'.

Iya bener, kalian nggak salah baca. Dulu saat Haruto masih di Jepang, Noa punya dendam ke Haruto karena anak itu menamai nomor kontaknya 'Anoa' di ponselnya.

Enak aja, muka ganteng-ganteng gini disamain sama anoa.

Noa juga tidak akan heran kenapa Haruto meneleponnya selarut ini. Paling juga menanyakan kondisi ayahnya. Noa memaklumi itu dan segera menekan ikon telepon berwarna hijau.

"Moshi-moshi, Haruto-kun."

__ __

Junkyu tidak bisa berhenti tersenyum seharian ini. Sepanjang hari mulai dari pagi sejak pengambilan rapor hingga malam, dia habiskan bersama Taeyang untuk bersenang-senang dengan mengunjungi berbagai tempat hiburan.

Mungkin agak tidak tepat jika Junkyu menyebut itu sebagai pesta ayah dan anak. Kakak dan adik sepertinya lebih cocok karena Taeyang secara mengejutkan masih berjiwa muda dan visualnya memang sepadan dengan itu.

Yang membuat mereka terlihat jadi seperti ayah dan anak hanya pakaian yang Junkyu pakai dan setelan kemeja serta jas yang masih setia tergantung di lengan Taeyang tanpa ada niatan sedikitpun untuk memakainya lagi.

Yasudahlah, namanya orang nggak nyaman juga mau gimana lagi?

Sekarang ini, keduanya menikmati akhir hari dengan duduk-duduk di bangku taman dengan Junkyu yang sibuk menjilati es krimnya dan Taeyang yang menyesap americano-nya. Di hadapan mereka, terbentang danau taman dengan permukaan yang tenang.

Junkyu mikir random, di bawah sana ada piranha.

"Papa, terima kasih sudah mengajak Ajun bersenang-senang begini. Ajun senang sekali!" Junkyu menyandarkan kepalanya di lengan Taeyang.

Taeyang hanya tersenyum kecil. "Haish, ngapain terima kasih segala? Emang seharusnya ini, kan, yang kita lakukan?"

Junkyu terkikik kecil, kemudian kembali menjilat es krimnya sampai hampis dan membuang bungkus beserta batangnya ke tempat sampah yang ada di dekatnya.

Namun, tanpa sengaja, netra bulatnya tertuju ke arah danau yang memantulkan apa-apa saja yang menghiasi langit. Junkyu pun mendongak.

"Wahh..." Mata bulat itu berbinar menatapi ratusan bintang dan bulan purnama di langit. Taeyang ikut menengadah, ikut melihat ke arah yang mencuri perhatian Junkyu.

"Wah, Ajun jarang main keluar pas malam, jadi nggak tahu ada pemandangan sebagus itu..." gumam Junkyu terpesona. "Bagus juga buat story ige yang estetok."

"Nggak boleh keluar malam kalo nggak sama Papa." Taeyang mengusak puncak kepala Junkyu.

"Hehehe... tenang, Pa. Ajun sendiri juga males keluar malam kalo nggak penting," kekeh Junkyu.

"Bagus."

Keduanya kembali memerhatikan bintang-bintang itu lagi, dengan Junkyu yang dengan dodolnya menghitung jumlah mereka yang ada ribuan secara satu persatu dan terus diulangi karena lupa bintang mana yang belum dihitung.

Sementara itu, Taeyang hanya menatap sendu ke langit. Andai saja kita bisa melihat bintang seperti ini bertiga. Pasti lebih bagus.

 Pasti lebih bagus

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Babysitter || HaruKyu Treasure [ END ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang