Bab 26

922 95 2
                                    

"Gimana keadaan Lo?".

"Seperti yang Lo lihat".

Ini salah. Ide untuk mempertemukan keduanya ternyata salah. Senja menghembuskan napasnya saat melihat interaksi kedua pria itu. Kaku.

"Mau minum Ka?".

Raka menggeleng, pria itu mengedarkan pandangan ke penjuru ruangan. "Kalian cuma berdua di sini?".

"Kenapa?".

"Gak boleh berduaan dalam satu ruangan. Nanti yang ketiganya setan".

Bumi tersenyum miring mendengar itu. "Bener. Dan setannya elo".

Raka menatap datar ke arah Bumi. "Gue gak mau ngajak Lo ribut" katanya.

"Gue juga lagi gak bisa ribut sih. Nih, gak liat tangan kaki gue diperban?" Timpal Bumi dengan santainya.

"Lagian ngapain Lo kesini? Ganggu waktu istirahat gue aja".

"Gue kesini bukan mau jengukin Lo".

"Gue juga ogah dijengukin lo".

Senja menatap cengo pada dua orang di depannya. "Kalian, kenapa?".

Bumi dan Raka kompak menoleh. "Gak papa".

"Ih barengan!" Serunya sembari bertepuk tangan. "Gini dong. Kalian harus sering akur ya" tambah Senja yang mana membuat kedua pria itu menatap penuh heran kearahnya.

Raka menghela napasnya, kembali menatap Bumi. "Gue mau bawa Senja keluar" itu sebuah informasi bukan meminta izin.

Mendengar itu, Senja memelototkan matanya. "Kemana?".

"Antar Beli kado buat mamaku".

"Loh. Kan waktu itu aku bilang--".

"Sebentar. Sebentar aja, ya?".

Senja beralih menatap Bumi yang ternyata tengah menatap nya balik. "Nanti Bumi sendirian di sini, Ka".

Raka berdecak pelan. "Lo bisa kan sendiri?".

Ingin sekali Bumi menggelengkan kepalanya. Memberi tahu bahwa ia tidak ingin Senja pergi. Tapi ia tidak boleh egois. "Pergi aja, Nja. Gapapa gue mah".

"Bumi!"

"beneran. Sok sana. Nanti keburu hujan. lagian Mama juga nanti mau ke sini" ungkapnya menyakinkan Senja.

Lantas tanpa banyak bicara lagi Raka langsung meraih tangan Senja. Kemudian membawanya keluar bersama. Tanpa, meninggalkan sepatah kata pun pada Bumi.

'gapapa, Bum. Senja gak bisa seterusnya sama lo'.

                             ********

"Kok gini sih Ka?".

Raka terdiam. Fokus pada tuas kemudi. Mereka sudah dalam perjalanan.

"Kalo aku nanya tuh dijawab!".

Raka menoleh sesaat. "Kalo gak kayak gini. Kamu gak akan punya waktu buat aku. Buat kita".

"Tapi kan keadaannya beda, Ka. Bumi butuh aku".

"Bumi itu lebih penting dari pada aku? Iya?" Senja bungkam. Lidahnya kelu. Tak bisa bersuara untuk sekedar menjawab pertanyaan itu.

Raka menepikan mobilnya. "Harusnya aku yang lebih berhak atas waktu mau. Harusnya kamu bisa kasih waktu kamu buat aku".

"Bumi ini, Bumi itu, Bumi yang begini, Bumi yang begitu" ucap Raka lagi. "kamu apa gak sadar? Kamu selalu begitu tiap bareng aku" keluar sudah. Kalimat yang selama ini ditahan ia ungkapkan secara gamblang.

Iya. Senja memang selalu menyempatkan waktunya jika Raka meminta bertemu. Tapi, selalu ada Bumi di dalam topik pembahasan mereka. Tubuh Senja memang ada di hadapannya. Tapi pikiran gadis itu tidak berfokus padanya. Sudah lama Raka menyadari akan hal itu. Dan hari ini, sepertinya ia sudah tidak bisa berdiam diri lagi.

Senja membisu. Pikirannya berkecambah saat mendengar pengakuan pacarnya itu. Jika memang benar, itu artinya ia sudah jahat pada Raka, bukan?.

"Kalau aku minta kamu buat jauhi. Bumi, gimana?" Senja mengangkat kepalanya. Menatap Raka dalam.

"Kenapa? Gak bisa?".

Melihat Senja yang hanya diam saja Raka membuang mukanya sambil berdecih pelan. "I see" gumamnya.

"Ka, kenapa gini? Dadi awal kamu udah tau aku sama Bumi kayak gimana?".

Raka mengangguk. "Tapi, gue gak bisa kalo gini terus, Nja". Ah, gaya bicaranya sudah kembali seperti semula. "Udah ya?".

"Gue ini maunya jadi prioritas. Tapi kayaknya gue gak bisa dapetin itu dari Lo".

Senja paham. Ia memang tidak bisa menjadikan pria itu prioritasnya.

"Alasan gue ngajak Lo keluar buat bilang ini". Ada jeda sebentar sebelum pria itu lanjut berbicara. "Gue harap, Lo bisa bahagia, Nja. Entah itu sama Bumi atau sama yang lain".

Senja mengangguk. Jadi... Sudah ya? Mereka selesai sampai disini?

"Ka-- Lo juga. Maaf kalau Bareng gue Lo harus ngerasain sakit. Maaf".

"Gak usah minta maaf. Lo baik, gue seneng bisa kenal lo" Senja mengangguk dengan senyum tipisnya.
"Habis ini Lo mau ke suatu tempat dulu atau mau langsung pulang?"

"Emm. Gue turun di sini aja".

"Oke. Gue anter pulang kalo gitu" tidak menghiraukan ucapan Senja, Raka pun menarik pedal gas, dan memacu mobilnya ke arah rumah gadis itu.

Perjalanan kali ini berbeda dengan sebelumnya. Biasanya mereka banyak berbicara, tapi kini keduanya seolah sibuk dengan pikiran masing-masing. Hingga tiga puluh menit kemudian mobil itu terhenti di pelataran rumah Senja.

"Makasih ya. Emm, sekali lagi maaf".

"Gue bilang gak usah minta maaf. Jaga kesehatan ya, dan" Raka terdiam sejenak, memerhatikan raut wajah Senja. "Gue harap, Lo bisa lebih jujur sama perasaan lo".

Untuk terakhir kalinya, tangan Raka mengusak lembut rambut Senja sebelum membiarkan gadis itu keluar dari mobilnya dan berjalan masuk ke rumahnya.

Sesampainya di kamar, Senja menghempaskan tubuhnya. Menyembunyikan wajahnya ke atas bantal. Tak terasa, tetes demi tetes air mata jatuh dari pelupuk matanya. Ternyata sakit juga. Bukan, Senja menangis bukan karena putus dengan Raka. Ia hanya... Merasa bersalah dan terlalu jahat pada Raka, pada dirinya sendiri.

Senja memang menyayangi Raka. Namun, jika kalian ingin tahu. Rasa sayangnya pada Bumi jauh lebih besar. Atau bahkan bukan sebatas rasa sayang, tapi ada rasa yang lebih dari itu. Hanya saja, Senja buta dan takut sama seperti halnya Bumi. Kedua insan itu, memiliki rasa yang sama. Tapi terlalu takut untuk berbicara dan tidak siap jika harus kehilangan satu sama lainnya.

'harus jujur sama perasaan lo'

Perkataan itu begitu memenuhi otak kecil Senja. Entahlah, apa ia bisa berkata jujur atau tidak.

                            ********

Swastamita Yang Membumi Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang