Bab 47

983 120 1
                                    

"mau mampir dulu enggak? Kita jalan-jalan?".

Dengan wajah pucat, badan yang sudah lemas tak berdaya, Senja hanya mampu menggelengkan kepala. Menolak tawaran yang diajukan Bumi.

Lagi, selalu berakhir seperti ini. Setiap selesai melakukan konseling dengan dokter, Senja selalu merasa energinya seakan terkuras habis.

"Langsung pulang aja".

Bumi sesekali membagi fokusnya antara jalanan dengan gadis yang menyandarkan tubuhnya dengan mata yang terpejam. Terlihat sekali gurat kelelahan di wajah cantik itu.

People scare me.

Like i don't know how to deal with people. They're just scary.

Perkataan itu seakan menancap tajam di kepala Bumi saat dokter memberi tahunya tentang apa yang Senja rasakan selama ini.

Perasaan takut, kecewa dan tidak lagi percaya.

Helaan napas keluar dari bibir Bumi. Selang sehari setelah pertengkaran hebat dengan Karrel, Senja semakin tak terkendali. Lebih banyak diam, kadang menangis dan meraung seolah melampiaskan sakit yang tak kunjung hilang.  

Mengingat Karrel pria itu belum ada menghubunginya untuk sekedar menanyakan keadaan Senja. Ingatkan Bumi untuk berkunjung dan memastikan kondisi pria itu. Ia takut, Karrel sama kacaunya dengan Senja.

Tiba di rumah, Bumi membopong Senja yang ternyata tertidur menuju kamarnya.

Sebelum keluar, ia menarik selimut hingga batas dada. Merapikan anak rambut dan mengecup pelan keningnya.

"Sleep tight sayang".    

.
.
.
.

Langkah kakinya selaras dengan suara gelak tawa yang tertangkap oleh kedua rungunya. Dia terus berjalan, sampai terlihat seorang wanita dewasa tengah bersenda gurau dengan gadis kecil.

Entah tempat apa ini namanya, yang pasti ia merasakan kedamaian disini. Ia datang dan ketika melihat interaksi kedua orang itu. Ia melangkah, semakin mendekat.

"Bunda?"

Wanita itu menolehkan kepalanya.

"Bunda?".

"Halo Adek" suara itu mengalun dengan sangat indah. Hingga tak terasa bulir bening berjatuhan dari katanya.

Senja berlari. Memeluk sang Bunda.
Betapa ia rindu.

"Bundaa, kangen" ujarnya terisak.

"Bunda kemana aja? Kenapa gak pernah ada di rumah? Adek selalu cari Bunda, tungguin Bunda pulang. Tapi Bunda gak pernah dateng" adunya setelah pelukan itu terlepas.

Wanita di depannya hanya memberikan senyuman manis.

"Sekarang, Kita pulang ya Bun".

Senja menarik tangan sang Bunda, namun langkahnya tertahan. Bunda hanya terdiam.

"Ayo pulang Bun".

"Bunda enggak bisa pulang".

Senja mengernyit kebingungan.
"Kenapa?".

"Adek nakal ya? Sampai Bunda gak mau pulang lagi? Iya Bun?".

"Enggak sayang. Adek, anak Bunda yang paling baik".

"Lalu kenapa Bun? Ayo pulang".

Lagi-lagi Bunda menggelengkan kepala dan menahan dirinya, "ini sekarang jadi tempat Bunda nak. Bunda senang di sini".

"Adek juga harus bahagia ya? Janji sama Bunda?".

Senja menggeleng kuat. Bagaimana bisa ia bahagia tanpa ada Bunda? Bagaimana mungkin?

"Adek bisa. Bunda percaya" lengan Bunda bergerak menyentuh dada Senja, "Bunda selalu ada disini, sama Adek" ucapnya penuh penekanan.

"Sekarang, Adek pulang ya? Masih ada Mas yang butuh kamu. Nak, ada Bumi yang nunggu kamu".

"Enggak! Adek mau disini aja sama Bunda. Adek pulang, kalau Bunda juga ikut pulang!".

"Nurut sama Bunda ya? Nanti kalo Adek sudah bahagia temui Bunda lagi ya".

"Bunda selalu sayang Adek. Pulang sekarang Nak. Bunda pergi".

"Enggak! Bunda! Jangan pergi, Bundaaa!".

"BUNDAAAA!!!".

peluh membanjiri keningnya. Napasnya berhembus terburu-buru.

Mimpi.

Itu cuma mimpi, namun terasa begitu nyata.

Hangatnya pelukan Bunda sudah mampu membekukan fungsi tubuhnya. Dengan tangis yang tergugu, senja memeluk dirinya sendiri.

Menangis sendirian lagi.

Pintu terbuka dengan kasar, Bumi masuk dengan tak sabar. Menghampiri gadisnya yang terlihat berantakan.

"Sayang".

"Hei. Senja".

"Mimpi buruk? Hm?" Senja mendongak. Sebuah anggukan kecil menjadi jawaban, membuat Bumi langsung menarik Senja dalam dekapnya. Mengusap lembut punggungnya.

Beberapa menit terdengar hanya  tangisan milik Senja yang membasahi baju Bumi. Setelah di rasa tenang, Senja memberanikan diri menceritakan semua rentetan mimpinya.

"Bunda sudah bahagia sayang. Bunda udah punya tempat paling baik disana". 

"people come and go. Beberapa ada yang datang hanya untuk menyapa lalu pergi. Yang pergi biar pergi. Kita enggak bisa merubah takdir yang sudah terjadi".

"Ikhlas sayang. Sedihnya udah cukup di sini ya. Kamu harus lanjut jalan, bahagia lagi. Kalo kangen Bunda, cukup doakan".

"Bumi".

"Iya?".

"A-aku... Takut" cicit Senja di ujung kalimat.

"Apa yang bikin kamu takut, hm?".

"Aku... Semuanya udah hancur. Bunda pergi. Mungkin... Mas Arel juga akan pergi ninggalin aku. A-aku takut. Aku engga mau bangun lagi, kalau pada akhirnya jatuh lagi" ucapnya terbata.

"Sayang.... Denger. Kamu masih punya alasan untuk bertahan. Masih banyak orang yang benar-benar sayang sama kamu".

Senja terdiam sesaat. Mencerna dengan baik apa yang Bumi sampaikan. Dengan sabar, pria itu menunggu Senja memahami semua ucapannya.

"Kamu, mau bantu aku akan? Kamu jangan pergi jauh-jauh. Bisa?" Tanya Senja pelan sembari menyelami tatapan mata Bumi.

"Pasti. Aku akan terus di sini, sama kamu. Aku gak akan kemana-mana. Kunci utama agar kamu bisa bangkit Lagi meski sudah jatuh berkali-kali adalah ikhlas dan tetap berprasangka baik sama Tuhan".

"Setelah ini, aku cuma pengen lihat kamu senyum di pagi hari, siang, sore, sampai menjelang tidur, bisa?".

Senja mengangguk lemah. Sudut bibirnya terangkat saat melihat Bumi mematikan senyuman. Senyuman secerah matahari milik pria itu selalu memberikan energi positif juga ketenangan bagi Senja yang begitu menikmatinya.

Senja memeluk pria di hadapannya.

"Terima kasih" bisiknya.

********

Swastamita Yang Membumi Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang