Bab 45

975 122 2
                                    

GDM atau sering juga disebut dengan Gangguan Depresi Mayor. Suatu gangguan kesehatan mental yang ditandai dengan suasana hati yang terus tertekan atau kehilangan minat dalam beraktivitas, menyebabkan penurunan yang signifikan dalam kualitas hidup sehari-hari.

Rasa sedih atau terus kehilangan minat yang mencirikan depresi berat dapat menyebabkan berbagai gejala perilaku dan fisik. Ini mungkin termasuk perubahan dalam pola tidur, nafsu makan, tingkat energi, konsentrasi, perilaku sehari-hari, atau harga diri. Depresi juga dapat dikaitkan dengan pikiran bunuh diri.

"Jadwal konsultasi hari apa aja, Mas?".

Karrel menatap sang lawan bicara. Wajah yang beberapa hari ini jarang ia lihat.

"Seminggu dua kali. Rabu dan Sabtu".

Bumi mengangguk paham.

"nanti biar gue aja yang temenin".

"Gue gak tau lagi musti gimana. Rasanya sakit banget lihat dia terus-terusan nangis" Bumi mengangguk paham. Ia mengerti bagaimana perasaan Karrel saat ini. Karena dulu, ia pun harus menyaksikan Mamanya terpuruk saat ditinggalkan Oleh sang Ayah untuk selamanya. Meski usianya tak sama seperti Karrel.

Bumi dipaksa dewasa oleh keadaan.

"Bantu gue ya, Bumi?" Lirih pria itu.

"Pasti. Selain Lo, gue juga mau tanggung jawab buat bahagianya Senja".

Lalu disinilah Bumi. Di dalam kamar dengan lampu utama yang dimatikan. Penerangan satu-satunya hanya berasal dari lampu pijar di atas nakas. Kamar ini terlalu gelap.

Terduduk di pinggir ranjang. Bumi menatap lembut seseorang yang tengah terlelap. Napasnya keluar dengan teratur.

Bumi memindai wanita itu. Kernyitan di dahi. Lingkaran hitam dibawah mata. Menandakan bahwa tidurnya tak benar-benar nyenyak selama ini.

Tubuhnya pun terlihat lebih kurus dari terakhir Bumi lihat.

Gadisnya. Senja-nya sedang tidak baik-baik saja.

Jika kalian bertanya. Kemana Bumi selama ini?

Ia ada. Selalu ada. Meski tak bisa menemui Senja dari dekat. Percayalah, setiap hari lelaki ini selalu mengunjungi rumah Senja meski sang empu tak bisa ia temui. Pria itu selalu menjaga dari jauh. Seperti yang kalian tahu, Senja benar-benar tidak bisa bertemu siapapun selain kakaknya.

Selama ini Bumi selalu bertukar pesan dengan Karrel. Menanyakan perkembangan kondisi Senja. Sampai saat dimana Karrel mengabari tentang Senja yang semakin memburuk. Bumi tidak bisa menahan dirinya lagi.

Ia melanggar janjinya sendiri untuk tidak menemui Senja.

Tangannya menyentuh pelan pipi yang semakin tirus. Menghapus jejak-jejak air mata di sana.

Gadis itu bergerak. Menggeliat pelan.

"Hai" sapa Bumi lembut begitu netranya bertemu dengan netra Senja.

"Bumi?".

"Iya, ini Bumi" bisik pria itu seraya mengelus lembut pipi Senja.

Lelehan air matanya kembali turun. Bumi bergerak lantas merengkuh tubuh Senja.

"Gapapa. Tumpahin semuanya. Bumi di sini".

Tangis itu semakin keras. Senja tersedu, seolah mengadu pada Bumi.

Berapa banyak air mata yang sudah dikeluarkan? Seberapa menderita gadis ini?

Hati Bumi berdenyut nyeri.

Hingga beberapa jam lalu, Isak itu sudah tak terdengar lagi.

"Udah? Mau minum?".

Senja mengangguk, menerima segelas air yang diulurkan Bumi. Meminumnya hingga tandas.

"Uluh-uluh, haus ya?" Setelah meletakkan kembali gelas itu. Bumi merapikan rambut yang menutupi mata Senja, menyelipkannya ke belakang telinga.

"Lebih baik?".

Hm".

Hening tercipta. Ditatapnya dalam gadis di depannya. Ah! Betapa Bumi rindu pada gadis ini.

"Mau keluar gak? Kita jalan-jalan, mau?" Gelengan kepala ia dapat sebagai jawaban.

Oke. Senja masih takut untuk menemui banyak orang.

"Mau disini aja?" Kali ini, gadis itu mengangguk.

"Oke. Disini aja" Bumi meraih jemari Senja. Kemudian memainkannya dengan lembut. Senja senantiasa menundukkan wajahnya. Menghindari mata Bumi.

"Kenapa?" Cicit Senja namun masih bisa Bumi dengar.

"Kenapa?".

"Ke sini".

"Kenapa aku datang ke sini?" Senja mengangguk membenarkan ucapan Bumi.

"Kangen" ucapnya tanpa ragu.

"Kangen berat".

Namun jawaban itu tak mampu menghilangkan gundah di hati Senja. Sejak ia melihat bumi dihadapannya perasaan takut ia semakin terasa. 

Ia takut. Setelah Bumi datang dan melihat keadaannya, pria itu akan menghilang. Meninggalkannya sendirian. Seperti halnya sang Bunda dan Ayahnya.

Senja tidak mau.

Bumi pergi.

Dan itu menjadi satu diantara banyaknya alasan kenapa ia enggan berinteraksi dengan Bumi.

"Sayang...." Panggil Bumi ketika melihat Senja terdiam.

"Lihat aku".

Sorot mata itu begitu menyiratkan bagaimana besarnya rasa takut yang ada dalam diri Senja.

"Jangan takut".

"Kamu gak sendirian. Kamu masih punya Mas Arel. Ada aku".

Benar. Senja tidak sendiri.

Tapi ia masih ragu.

"Aku... A-apa aku bisa?"

"Bisa. Sayangnya aku pasti bisa. Anak Bunda ini kuat kan?" Senja mengangguk samar.

"The sky not always gonna be grey. Akan ada matahari, pelangi, langit biru, dan hujan akan turun menghiasi".

"Boleh sedih, tapi jangan lama-lama ya? Lift must go on, sayang".

Pria ini sedang dalam suasana hati yang bagaimana ketika tuhan menciptakannya. Kebaikan apa yang Senja lakukan di masa lalu hingga semesta mempertemukannya dengan pria seperti Bumi.

"aku di sini. Akan terus sama kamu. Kita... Jalan bareng-bareng lagi ya? Pelan-pelan aja, mau kan?".

********

Swastamita Yang Membumi Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang