Bab 44

924 111 12
                                    

Hampa.

Ya, sepertinya rasa itu cocok untuk mendeskripsikan bagaimana Senja saat ini. Hari-harinya memang masih sama. Namun, ada yang berbeda

Sepi.

Sunyi.

Beberapa hari terakhir. Senja terus mengurung dirinya di dalam kamar. Tak ingin bertemu dengan siapapun

Tak ada yang lebih menyakitkan dari kehilangan seseorang yang amat berarti dalam hidup kita untuk selama-lamanya.

Yang Senja lakukan sepanjang hari hanya berdiam diri menyesali apa-apa yang telah ia perbuat semasa Bundanya hidup. Mengutuk dirinya yang tak bisa memberikan apapun.   Menjelang malam, Senja akan menangis tersedu-sedu sembari menyebut nama sang Bunda. Paginya ia akan terbangun mencari-cari keberadaannya. Kejadian itu terus berulang setiap hari.

Biasanya Senja akan melihat Bunda lalu-lalang di dalam rumah. Selalu ada Bunda yang duduk di kursi ruang tengah, menunggunya pulang lalu ia akan bercerita tentang hal-hal baru yang terjadi. Biasanya akan ada perdebatan ketika ia tak mendengarkan arahan Bunda karena lebih mementingkan egonya

Sekarang, semua itu hilang. Senja kebingungan. Ia hilang arah. Tidak punya tujuan dan tempat untuk pulang.

Awan mendung masih terlalu kuat melilitnya.

Setelah ini ia harus apa.

Menyusul Bunda? Sepertinya itu bukan hal yang buruk.

Senja bangkit. Bergerak menuju nakas, membuka laci paling bawah. Lalu menggenggam benda yang terbuat dari besi. Mungkin benda ini bisa membantunya bertemu dengan sang Bunda.

Perlahan. Ia arahkan benda tajam itu pada titik nadinya.

Matanya terpejam.

Bunda... Tunggu Senja.

Ringisan itu keluar saat ia merasakan sayatan pertama. Tahan, Nja. Ini belum seberapa dengan apa yang Bunda rasakan selama ini.

Sayatan kedua kembali ia lakukan.

BRAAAKKKK!!

"SENJA!!".

Prang

Benda ditangannya terlempar begitu saja. Senja membuka matanya yang berair. Menatap sosok yang dengan begitu berani menggagalkan rencananya.

"JANGAN GILA!!" bentaknya.

Bibir Senja bergetar. Napasnya tercekat. Matanya kembali mengabur. Hingga tetes air itu kembali meluncur.

Karrel merengkuh tubuh itu. Memeluk erat tubuh Adeknya yang bergetar hebat.

"Hiks... Hiks... Hiks..."

Isakan itu terdengar semakin menyayat hati.

"Ma-mau Bunda...."

"Kangen Bunda.... Hiks.... Hiks..."

"A-adek mau ketemu Bunda...." Tangisnya berubah meraung kesakitan.

Sakit.

Hati Karrel sakit melihat Adeknya seperti ini. "Jangan gini dek, Mas mohon" lirihnya.

Dengan gerak lembut, Karrel melepaskan pelukannya. Kemudian menggendong Senja ke atas tempat tidur. Lelaki itu bergerak cepat mengambil p3k untuk mengobati luka di tangan gadis itu.

Setelah selesai. Ia tatap dalam sang Adek yang terdiam dengan tatapan kosong.

Wajah itu. Wajah yang beberapa hari ini selalu Karrel lihat. Seperti bukan seperti bukan Senja. Adeknya.

Karrel sangat amat ingin menangis saat ini. Ia tak kuasa menghadapi Senja yang saat ini benar-benar terlihat hancur. Namun, siapa yang akan menjadi penguat jika ia pun ikut terpuruk?

"Tidur ya. Mas temenin?".

Pria itu membaringkan tubuhnya di sisi Senja. Lalu mengelus lembut surainya sampai gadis itu memejamkan mata. Meski ia yakin, tidurnya tak akan nyenyak seperti biasa.

********

Pagi ini Senja bangun lebih dulu.

"Mas bangun".

Karrel menggeliat, "kenapa dek?" Tanyanya dengan mata yang menyipit.  Lelaki itu bangkit. Menatap sang Adek yang tersenyum cerah ke arahnya. Ada apa?

"Ayo bangun Mas. Katanya Bunda mau bikin nasi goreng seafood".

Dengan semangat empat lima. Senja bangun dari ranjangnya lalu masuk ke dalam kamar mandi untuk mencuci muka.

"Ayo ih! Mas bangun. Kita bantuin Bunda, kasihan tahu Bunda sendirian. Pasti repot banget deh".

Lagi. Karrel menghela napasnya perlahan.

Ditatapnya Senja yang tengah berdiri di depan cermin.

"Adek turun duluan ya. Mas nanti nyusul".

Gadis itu melenggang dari hadapannya. Karrel dengan cepat menyusul.

"BUNDAAA!"

"BUNN!".

"BUNDAAAAAA!!". 

"Bunda. Adek mau bantuin Bunda masak yaa!".

Senja terus berteriak. Mencari-cari keberadaan Bundanya. "Bunda kemana sih, Mas? Masih di pasar kali ya?" Karena begitu sampai di dapur ia tak menemui siapapun.

Karrel mendekat. Meraih tangan Senja.

"Dek".

"Kita susul Bunda yuk, Mas".

"Adek".

"Mas jahat. Kok gak temenin Bunda ke pasar sih!"

"Dengerin Mas. Bunda udah enggak ada, sayang".

"Apa sih?!! Mas aneh banget omongannya. Masa doa'in Bunda jelek begitu. Mau jadi anak durhaka?!!".

"Jangan gini"

"Jangan gini gimana sih?!! Bunda tuh masih ada.....".

"BUNDAAA ENGGAK ADA! BUNDA UDAH MENINGGAL!!".

"MAS GILA!!".

"KAMU! KAMU YANG GILAA!!".

Senja terdiam.

Kepalanya berdengung kuat kala mendengar teriakan Karrel.

Lantas, badannya meluruh. Memeluk kedua lututnya. Senja menangis sejadi-jadinya.

Gila.

Iya, dia gila.

********

Swastamita Yang Membumi Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang