"tolong bantu Bunda sembuh".
Lelaki yang beberapa jam lalu menyetujui ajakan untuk bertemu masih tetap bergeming.
Tak ada suara yang dikeluarkan.
"Aku mau Bunda sembuh, Yah" suaranya sendu. Penuh permohonan.
Meski Senja tahu, tak banyak upaya yang bisa dilakukan mengingat kondisi Bundanya sekarang.
Pria itu bergerak. Menatap putrinya yang menundukkan wajahnya.
"Kalau Ayah gak bisa. Lakuin itu demi aku".
"Aku masih butuh Bunda, Yah".
"Ayah gak bisa menjamin".
Senja mendongak. Menatap manik mata sang Ayah.
"Maaf".
"Ayah... Masih sayang Bunda, kan?".
"Bunda kamu, bukan tanggung jawab Ayah lagi".
Benar. Kalimat itu seratus persen benar. Namun, entah kenapa Senja sulit untuk menerimanya.
Ia lupa pada kenyataan bahwa Ayah dan Bundanya sudah lama selesai.
"Ayah bisa bantu carikan Dokter yang berpengalaman".
"Terima kasih" ya, apalagi yang bisa Senja lakukan jika sudah begini.
"Nanti, kalau sudah..."
Kalimat itu terhenti oleh bunyi dering dari ponsel Senja. Dengan cepat ia raih ponselnya.
Nama Karrel terpampang nyata.
"Dek! Ke ruangan sekarang! Bunda..."
Tutt!
Tanpa berpamitan. Senja berlalu begitu saja. Kakinya berlari tunggang-langgang dengan perasaan takut yang begitu besar.
Bunda... Tunggu Senja.
********
Setiap hari, selalu ada pengharapan yang Senja panjatkan. Ia berharap ingin Bunda bangun, sembuh. Kembali bersamanya. Itu saja.
Namun, agaknya doa-doa itu tidak sampai pada sang pencipta.
Rasanya baru tadi malam Senja merasakan kebahagiaan saat Bunda tersadar. Memanggil namanya dan memberikan pelukan hangat seraya membelai lembut permukaan surainya. Dan tak lupa juga senyum manis yang selalu terpatri di wajah Bunda.
Pagi ini, tepat pukul 10.00, seluruh alat yang menempel di tubuh sang Bunda dilepaskan dengan berat hati. Tidak ada kesempatan. Tidak ada keajaiban.
Tubuh itu kini terbujur kaku.
Tak ada bunyi detak yang biasa Senja dengar meski itu dari mesin pembantu.
Tak ada tangan hangat yang selalu ia genggam erat.
Bunda... Pergi.
Dan tak akan pernah kembali
Tak banyak yang bisa Senja lakukan selain meringkuk di sudut ruangan. Memeluk dirinya sendiri.
Bahkan setelah proses pemakaman yang Senja sendiri pun tak ikut menghadiri karena nyatanya ia tak sekuat itu untuk menyaksikan tubuh yang orang lain sebut dengan jenazah itu dimasukkan ke dalam liang lahat. Senja tak akan pernah sanggup.
Di dalam kamar yang semerbak akan aroma Rosemary yang berasal dari humindifer. Wangi favorite Bunda. Senja memeluk erat potongan baju milik wanita kesayangannya.
Aromanya masih sama.
Tak terasa, lelehan air matanya kembali meluncur. Ah tidak, bahkan sejak awal. Air mata itu tidak pernah mengering.
Masih jelas teringat, Senja kecil yang selalu menangis merecoki Bunda di setiap paginya. Senja kecil yang merengek minta dibelikan sesuatu. Senja kecil yang selalu main hujan tanpa mengindahkan larangan sang Bunda.
Bunda yang mengajarinya bagaimana caranya berbicara. Merangkak, berjalan, berlari, sampai kini, ia bisa menentukan jalannya sendiri.
Bunda yang dengan senang hati menyiapkan telinganya untuk mendengar cerita-cerita random yang Senja alami.
Kini, semua itu sudah menjadi kenangan dan cerita di balik sampul buku diary.
Lantas setelah ini, ia harus apa? Bagaimana hidupnya? Apa ia bisa berjalan kembali?.
Rasanya untuk merangkak pun Senja tak akan sanggup.
Barangkali Senja lupa bahwa hidup di dunia hanya bertamu saja. Dan kematian itu sudah pasti kedatangannya.
Namun melepaskan seseorang yang sudah lama menjadi bagian hidup kita pun tidak akan semudah itu. Tidak ada yang akan baik-baik saja perihal kehilangan.
Senja hanya sedang jujur pada dirinya sendiri. Bahwa ia tidak baik-baik saja.
Runtuh. Dunianya runtuh.
Derit pintu terdengar. Ketukan sepatu yang beradu dengan lantai menggema di dalam ruangan dengan cahaya yang temaram. Perlahan namun pasti. Langkah itu semakin mendekat. Sampai Senja rasakan usapan lembut di sekitar rambutnya. Lalu turun ke pundaknya.
"Adek. Ini Mas" ada getar disana. Hanya mendengar suara itu, membuat air mata Senja mendesak meminta dikeluarkan.
Tanpa banyak berkata Karrel meraih Adeknya ke dalam pelukan hangat. Tangis itu semakin pecah. Karrel merasa seperti ada sayatan belati di dalam hatinya.
Hingga tak terasa, air matanya pun ikut turun. Mereka tergugu bersama.
Senja semakin mengeratkan pelukannya. Menyalurkan semua rasa sakit yang ada.
Kini, ia hanya memiliki Karrel. Pun sebaliknya. Mereka hanya memiliki satu sama lain.
"Mas... Bunda.... Hiks!"
"Iya. Ikhlas ya. Bunda sudah enggak ngerasain sakit lagi. Bunda sudah bahagia disana".
"Hiks... Hiks..."
"A-adek cuma punya Mas. Jangan tinggalin Adek".
Senja mengangguk sambil mempererat dekapannya. Tanpa diminta pun pasti akan terus bersama Senja. Meski mungkin jalannya akan tertatih-tatih.
"Jangan sedih sendiri. Jangan sakit sendiri. Bagi semuanya sama Mas, ya".
Lalu hanya tangis mengisi kekosongan itu. Mereka berduka. Dua anak itu sedang meratapi hilangnya sumber kebahagiaan mereka.
********
Ouh iya guys aku cuma mau ngasih tau kalau cerita "Daniswara" aku unpublish sementara buat ngubah alur sama judul.
Terima kasih༼ つ ◕‿◕ ༽つ
KAMU SEDANG MEMBACA
Swastamita Yang Membumi
JugendliteraturEnd. First Senja Bumi🤗 Aku tidak menginginkan amorfati, aku hanya memerlukan jatukrama yang amerta. Kita adalah fatamorgana yang terlalu aksa disebut jatukrama. Cover by Pinterest.