Bab 50

1.1K 108 4
                                    


Setelah pulang dari healing bersama teman-temannya, hari-hari belakangan Senja kembali menjalani rutinitas menjadi seorang mahasiswi. Ia kembali masuk kuliah setelah mengajukan cuti beberapa bulan.

Tak sedikit ucapan bela sungkawa yang ia terima ketika berpapasan dengan teman satu kelas yang mengetahui tentang kepergian mendiang Ibundanya. Tapi sekarang, Senja sudah bisa menerima. Tidak ada rasa sesak di dalam dada tiap kali mengingat sang Bunda.

Itu artinya Senja bisa kan? Iya sudah berhasil keluar dari lingkaran awan mendung yang mengungkungnya selama ini.

Ada satu kalimat yang selalu ia ingat dari Dokter konsultannya. Beliau bilang, kalau semesta enggak baik sama kamu setidaknya kamu harus tetap baik sama diri kamu sendiri.

Dan Senja tengah mencoba itu. Ia tidak ingin membawa dirinya terus-menerus dalam keterpurukan. Tidak mau melukai dirinya lagi.

Ia akan bertahan dan melanjutkan apa yang sempat tertunda. Dan semoga berakhir dengan bahagia. Semoga.

"Sayang!" Lamunannya buyar saat mendengar suara yang muncul dari samping kiri.

Bumi, pria itu entah sejak kapan datang dan duduk di sisinya. "Udah selesai kelas kan?"

"Udah".

"Jadi enggak ketemu Ayah?".

"Jadi".

"Yaudah yuk. Takut keburu hujan".

Bumi bangkit, begitu pula dengan Senja. Keduanya melangkah menuju parkiran dimana motor pria itu berada. Kemudian menuju ke salah satu kafetaria untuk menepati janji yang sudah di buat.

Salah satu upaya Senja untuk bangkit dan menyelesaikan semua yang belum usai. Salah satunya, bertemu dengan Ayah. Tidak bisa disebut masalah besar juga sebenarnya.    Semenjak kepergian Bunda, Senja sudah tidak pernah bertemu lagi dengan Ayahnya. Banyak hal yang harus dibicarakan.

Sampai di tempat tujuan. Tanpa ditemani Bumi dengan alasan pria itu tidak ingin menganggu. Senja masuk ke dalam tempat di mana dapat ia lihat seorang pria yang sudah tak lagi muda, tengah terduduk seorang diri di ujung ruangan yang cukup jauh dari keramaian.

Senja melangkah semakin dekat. "Ayah," panggilnya yang membuat pria itu menoleh.

"Eh, hai. Ayo duduk. Mau pesan apa?"

"Samain kaya Ayah aja".

Setelah itu, Ayah memanggil salah satu waiters untuk mencatat pesanannya.

"Gimana kabar kamu?".

Senja tersenyum, "baik, sangat baik. Ayah sendiri gimana?".

"Ayah juga baik".

Hening beberapa saat.

"Ayah... Mau minta maaf." Senja meremas kedua telapak tangannya saat mendengar kalimat itu meluncur dari Ayahnya. Jantungnya berdegup dengan kencang. Keringat mulai bermunculan di pelipisnya. Apa akan dimulai sekarang?

"Maaf untuk semua sakit yang selama ini Ayah torehkan ke Adek, Mas, dan Bunda kamu".

Kenapa?

Kenapa baru sekarang yah?

Apa harus nunggu Bunda pergi dulu?

Pertanyaan itu tertelan kembali. Senja tak mampu untuk menyuarakannya.

"Tolong, ampuni semua dosa Ayah, Dek." Lirih Ayah.

Tangis Senja pun tak mampu dibendung. Isaknya mulai terdengar.

"Adek... Mau kan maafin Ayah?".

Senja tergugu

Ini salah.

Ayah tak seharusnya memohon padanya.

"A-ayah... Jangan".

"Jangan minta maaf sama Adek." Lanjutnya dengan napas yang terputus-putus.

Ada jeda di sana. Sampai Senja sudah bisa mengentikan tangisnya. Gadis itu kembali menatap sang Ayah. Ada kerinduan yang bisa ia tangkap dari netra lelaki yang duduk di hadapannya.

Senja meraup napas sebelum berbicara, "dari dulu, Adek enggak pernah marah sama Ayah. Adek enggak pernah benci sama Ayah. Sedikitpun, seharusnya.... Adek yang minta maaf. Maaf kalau Adek selalu gak nurut sama kata-kata Ayah. Maaf kalau Adek pernah buat Ayah sakit hati, maafin Adek ya. Yah?". 

Ayah menatap Senja dengan mata berkaca-kaca.

Anaknya. Anak gadisnya. Bungsunya. Puti kecilnya. Ternyata sudah sedewasa ini.

Ada rasa penyesalan yang begitu besar, sudah sebanyak apa waktu yang ia buang sampai tidak menemani tumbuh kembang putrinya.

Tangannya mengusap sudut mata yang basah. Ayah menangis. Menangisi penyesalan. Menangisi kebodohannya.

"Maafin Ayah ya, Adek".

Senja menggeleng. Lalu mengangguk kuat-kuat.

"Ayah.... Adek boleh peluk?".

"Boleh, sayang, boleh".

Ayah bergerak dari duduknya dan menghampiri Senja. Memeluknya erat. Tangis Senja kembali runtuh. Ini kali pertama ia menangis di delapan sang Ayah. Kali pertama ia dipeluk oleh Ayah. Rasanya hangat, seperti ia begitu dilindungi.

"Ayah... Kangen".

"Kalau, nanti Adek mau minta waktu Ayah boleh? Adek pengen deh main sama Ayah, sama Mas juga. Terus nanti kita temuin Bunda ya Ayah? Boleh enggak?." Saat Ayah mengangguk dan membisikkan kata 'iya boleh' disitu Senja mematik senyum manisnya.

Setelah ini, Senja sudah boleh bahagia kan?.

********

Swastamita Yang Membumi Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang