Bab 51

1.1K 115 1
                                    


Waktu berjalan begitu cepat, hingga tak terasa sudah hampir satu jam lamanya Senja berkutat dengan revisi skripsi. Raut wajahnya sudah kusut tak berbentuk.

Dering ponsel yang berbunyi nyaring memecah fokusnya. Sejenak, Senja meregangkan otot-otot tubuh yang terasa kaku sebelum mengangkat panggilan itu.

Bumi melakukan panggilan video.

Tangannya menggeser tombol hijau dengan cepat. Kemudian layar ponselnya menampilkan wajah tampan milik Bumi.

Pria itu tersenyum manis dan menyapa.

"Kenapa? Kok kusut gitu mukanya?".

Seketika Senja memindahkan arah kamera pada tumpukan kertas di atas meja dengan laptop yang menyala.

"Aku lagi revisi".

"Pantesan. Masih banyak?".

"Lumayan".

"Istirahat dulu aja. Jangan maksain Yang".

Uh! Sial! When he called 'Yang' i'm literally blushing!!

"Kalau di nanti-nanti gak akan selesai-selesai".

"Kamu jangan maksain tubuh kamu dong. Nanti kalau sakit, kamu juga gak bisa lanjut revisi skripsi".

Mendengar itu Senja cemberut maksimal. "Kamu doain aku biar sakit?!!".

"loh? Enggak. Aku cuma ingetin kamu".

"Enggak ya! Kamu bilang biar aku sakit. Kamu tuh, jahat banget!".

"Bukan gitu maksud aku".

"Udah ah! Males banget lihat muka kamu!!".
Senja memutus facecall itu sepihak. Kesal bukan main.

"Bukannya kasih semangat kek, atau apa kek. Ini malah nyumpahin! Dasar planetttttt." Gerutunya.

Lantas berusaha melanjutkan revisi yang masih setengah jalan dengan perasaan yang dongkol. Namun tak berapa lama decakan kesal terdengar keras, kalau sudah begini Senja jadi malas. Moodnya hancur seketika. Tak ada lagi minat untuk melanjutkan revisi skripsinya.

Tubuhnya bergerak meninggalkan kamar. Senja turun menuju dapur hanya untuk mengambil segelas air dingin, berharap bisa meredakan hawa panas yang ia rasakan.

Lalu bel berbunyi tepat saat Senja akan melangkah kembali ke kamar. Dengan gerak lamban, ia berjalan membukakan pintu.

"Halo!".

"Ngapain kesini?!!" Suaranya ketus.

Bumi mengangkat plastik berwarna putih dengan logo supermarket ternama. Kemudian memasuk masuk lebih dalam. Senja mau tidak mau ikut masuk, berjalan dengan kaki yang dihentak-hentakkan.

"Duduk sini," titah Bumi.

Senja masih setia terdiam.

Bumi bergerak, menarik tangan kekasihnya yang memang mudah untuk dijangkau, kemudian membawa Senja duduk mengisi sofa di sampingnya.

"Jangan ngambek terus".

"Pulang sana!".

"Kok ngusir".

"Jangan pegang-pegang, ih!".

Bumi menghela nafas pelan, "kenapa sih?".

Kenapa?

Ini beneran Bumi masih tanya kenapa? Dia apa enggak sadar atau gimana sih? Jelas-jelas Senja begitu tuh gara-gara dia!

"Sini atuh, lihat aku. Jangan ngadep ke sana terus. Gantengan juga aku sama ikan Mas Arel mah".

Posisi Senja sedari tadi memang menyerong ke arah akuarium kecil sehingga membelakangi Bumi.

"Maaf ya".

"Maaf kalau kata-kata aku tadi bikin kamu sakit hati. Dimaafin enggak?." Tanyanya lembut.

Bukannya mendapatkan jawaban. Dia malah mendengar isak tangis gadis di sampingnya. Iya, Senja menangis. Entah menangisi apa dia juga bingung. Akhir-akhir ini Senja begitu sensitif.

Dengan sigap Bumi membawa Senja kedalam pelukan. Mengelus rambutnya berkali-kali sambil mengucapkan kata maaf.

Agaknya Senja benar-benar lelah.

"Gapapa. Nangis aja. Capek banget pasti ya sayang".

Menit demi menit Bumi masih rela menemani Senja menumpahkan tangisnya sampai benar-benar kering.

"Mau keluar? Cari udara segar mungkin, biar kamu bisa lebih tenang." Senja mengangguk, dia memang butuh udara segar, pikirannya semrawut sejak tadi pagi.

Dengan menggunakan sepeda motor, mereka melaju ke arah danau. Duduk di pipir beralaskan rumput, beratap langit jingga, berbekal makanan ringan yang Bumi bawa. Keduanya terlihat seperti tengah piknik, tapi versi mini.

Tanpa banyak kata. Masing-masingnya terdiam menikmati udara yang menenangkan. Hanya dimeriahkan oleh kicauan burung yang terbang ke sana kemari.

Beberapa menit berlalu, Senja menggelengkan kepalanya. Tiba-tiba terbesit satu pertanyaan di benaknya.

"Bumi".

"Hm?".

"Kok kamu kenapa masih mau disini?".

"Gimana sayang?".

"Kamu... Kenapa masih bertahan sama aku?".

Hening sesaat, Bumi tak kunjung menjawab, membuat Senja merasa menyesal telah melontarkan pertanyaan itu.

"karena kamu Senja".

"Karena kamu Senja. Enggak ada yang lain." Lanjut Bumi.

Rasanya Senja ingin kembali menangis mendengar kalimat itu. Tapi sudah terlalu banyak air mata yang keluar.

"Terima kasih ya".

Bumi menggeleng. "Aku. Aku yang harusnya bilang terima kasih".

"Terima kasih sudah mau berjuang ya sayang. Kamu hebat. Pacar aku ini benar-benar hebat." Ucap Bumi begitu tulus. Kedua tangannya menangkup pipi Senja. Mengusap-usap menggunakan jari jempolnya disana.

Hati Senja menghangat. Matanya kembali berkaca-kaca.

Sekali lagi, kebaikan apa yang sudah dia perbuat di masa lalu? Sehingga Tuhan mengirimkan Bumi disisinya.

Tuhan, terima kasih sudah menghadirkan Bumi.  

"udah ah! Kok jadi melow gini sih." Kata Bumi memecahkan suasana. Pria itu tidak mau berlarut-larut dalam sendu.

"Kamu tau gak sih? Dulu tuh ada cowok yang selalu ngelarang aku buat gak suka sama dia".

"Eh, gak tau nya sekarang malah dia yang cinta mati sama aku." Lanjut Senja disertai senyum menggoda.

Bumi salah tingkah mendengar itu, dia paham betul siapa yang dibicarakan oleh Senja.

"Bukan 'kayaknya'. Dia emang secinta itu sama kamu." Timpal Bumi tak mau kalah.

Senja mencebik, "kena karma dia. Sok-sokan banget nolak aura kecantikan aku".

"Dulu juga ada cewek yang ngomong gini ke aku, 'buta gue kalau sampe suka sama Lo".

"Itu parah sih! Gimana kalo beneran buta coba? Nanti dia gak bisa lihat kegantengan aku kan?".

Narsis abis!

"Sekarang gimana? Si cewek itu suka sama kamu?".

"Beuh! Gak mau jauh-jauh dia".

"Berarti dia buta dong".

"Ya enggak dong! Jangan sampai!! Boleh buta, tapi kalau lihat cowok lain".

Keduanya tertawa riang, tidak pernah terbesit di dalam pikiran. Bahwa kini mereka akan selalu bersama.

Dulu, keduanya selalu menyangkal perasaan satu sama lainnya. Dulu, keduanya hanya berusaha saling menjaga satu sama lain sebagai sahabat dekat. Tidak lebih dari itu.

Namun seiring berjalannya waktu. Entah kapan tepatnya, perasaan itu berubah seketika. Sekarang, baik Bumi maupun Senja hanya bisa berharap untuk tetap terus bersama. Semoga tuhan dan semesta merestui keduanya. Semoga.

********

Swastamita Yang Membumi Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang