happy reading!!!❤️
🌻
Pagi ini cuaca cerah luar biasa. Seokmin bahkan hampir mengira ia kesiangan saat terbangun karena cahaya matahari dari luar menusuk matanya lewat celah jendela kamar. Sesaat setelah terbangun dari tidurnya, ia dikejutkan dengan suara alarm pagi dari ponselnya.
Setelah menyingkirkan selimutnya, Seokmin duduk di tepi ranjang dengan mata yang sudah susah payah dibukanya. Tangannya terangkat memukul udara. Meregangkan seluruh otot tubuhnya yang masih kaku. Lalu merenung. Apa yang harus dilakukannya sekarang?
Oh iya. Mandi lalu berangkat kerja.
Usai mengumpulkan kesadarannya, akhirnya Seokmin beranjak dari kasur lalu bergerak untuk mandi. Seperti biasa otaknya menata jadwal kerjanya hari ini. Ia akan di kantor seharian.
Saat keluar kamar mandi, Seokmin sudah mendapati kasurnya yang kini tertata rapi dengan pakaian kerjanya terlipat di sudut kasur, lengkap dengan kaus kakinya. Istrinya pasti datang saat ia sedang mandi tadi dan menyiapkan semuanya.
Segera Seokmin mengenakan pakaiannya. Sedang asik berkaca, matanya menangkap sesuatu. Tangannya menyisir rambutnya perlahan. Lalu menarik sehelai rambut yang mencolok karena warnanya putih sendiri.
Sial, waktu nya sangat tepat mengingat hari ini ia bertambah usia.
Seokmin menerawang. Berpikir ini pasti ulah pekerjaan di kantornya yang membuatnya stress hingga menumbuhkan rambut putih di kepalanya.
Yap, tidak salah lagi. Pikir Seokmin mengangguk mantap.
Stage 1: Denial.
Setelah dirasa sudah siap, Seokmin keluar kamar dengan tas kerjanya. Perlahan menuruni tangga lalu menuju ruang makan untuk sarapan. Disana sudah ada Yuna yang masih berkutat di dapur dan makanan yang siap di santap di meja makan.
Seokmin pernah tinggal sendiri. Boro-boro makan di meja makan, untuk sarapan saja ia jarang, mengingat ia bahkan selalu kesiangan karena tidur larut untuk bekerja lembur.
Itu sebelum ia bersama Yuna.
Setelah Yuna menjadi kekasihnya, semua masih sama. Hanya saja ia tidak lagi bangun kesiangan karena sudah ada Yuna yang juga berperan sebagai alarm pagi untuknya. Tapi karena kebiasaan sebelumnya, ia jadi tidak terbiasa untuk sarapan.
Padahal saat tinggal bersama orang tuanya, ia tidak pernah melewatkan satu kali pun sarapan. Bundanya selalu memaksa keluarganya untuk sarapan pagi. Walau hanya sedikit, perut harus terisi, katanya.
Tapi setelah menikah, Seokmin kembali pada kebiasaan awalnya. Yuna sama galaknya dengan Ibunya jika ia melewatkan sarapan, sih.
"Pagiii," sapa Yuna menyadari keberadaan suaminya.
Seokmin tersenyum, membalas sapaannya, "Pagi."
Bukannya langsung duduk untuk sarapan, Seokmin malah bergerak menghampiri Yuna. Memeluk sang istri dari belakang lalu menghirup dalam-dalam surai hitamnya.
Kelonan dulu.
"Bikin apa?" tanya Seokmin. Pasalnya sarapan untuk sekeluarga sudah siap di meja makan, namun Yuna masih sibuk membuat makanan lebih. Dan Seokmin yakin Yuna tidak mungkin membuat bekal sebanyak itu untuk si kembar.
Yuna menoleh pada Seokmin yang kini berdiri disisinya, "Nanti bawa ya buat anak-anak di kantor," jawabnya.
"Dalam rangka apa?" Seokmin bertanya lagi.
"Kamu bilang mereka banyak bantu kerjaanmu di projek kemarin kan," ujar Yuna, "Sekalian syukuran ulang tahun kamu ya!"
Seokmin tersenyum tipis.