🌊 SELAMAT MEMBACA 🌊
“Jika kita ingin didengar, maka kita juga harus bisa menjadi pendengar.”
~••★••~
WALAU Syana berencana meninggalkan rumah, berharap bisa hidup tenang dan memulai kehidupan yang baru, tapi sebenarnya Syana tidak tahu ke mana dia harus pergi.
Hanya saja, sebelum dirinya benar-benar pergi jauh nanti, dia memang berencana mengunjungi pusara neneknya. Tidak lebih dari sekadar melepas rindu dan meminta maaf karena tidak mampu menepati janji.
Lalu ke mana Syana akan pergi setelah itu? Jawabannya adalah tidak tahu. Syana benar-benar tidak tahu harus ke mana, begitu juga dengan Rion.
Alhasil, mengingat hari sudah sore dan malam hampir tiba, Syana dan Rion memutuskan membangun tenda untuk mereka beristirahat malam ini.
Selagi Rion hampir selesai membangun tenda di tepi sungai tempat dulu mereka sering bermain, Syana yang bertugas mencari kayu bakar akhirnya kembali. Ditaruhnya kayu bakar itu di depan tenda, kemudian dia menyeka keringat di keningnya.
"Gue rasa kayu bakarnya udah cukup. Mending sekarang lo istirahat aja," ujar Rion membuat Syana menatapnya. "Gue juga hampir selesai, kok."
Syana mengangguk dan ketika Rion kembali fokus dengan sisa tugasnya, Syana tampak berjalan menuju sungai. Dilepasnya sepatu yang dia kenakan dan setelah menggulung celana panjangnya sebatas mata kaki, Syana lantas berjalan ke tengah sungai.
Tak berselang lama, terdengar helaan napas panjang saat Rion akhirnya berhasil membangun tenda dengan sempurna. Ditatapnya tenda itu dengan perasaan bangga dan puas.
"Nggak sia-sia juga dulu gue ikutan pramuka," ujar Rion. Sebuah senyuman terukir di bibirnya.
Lalu dia mengedarkan pandangan, mencari keberadaan Syana. Mulanya dia khawatir karena tidak mendapati gadis itu, tapi kekhawatirannya seketika sirna saat melihat Syana terduduk di batu besar di tengah sungai.
Sekali lagi Rion menghela napasnya, terutama saat melihat ekspresi murung di wajah Syana. Jujur dia lebih kesal melihat Syana seperti ini daripada melihat gadis itu melibatkan dirinya dalam masalah.
Selain murung, Syana juga sepertinya melamun karena saat Rion berjalan di air untuk menghampirinya, Syana sama sekali tidak menyadari hal itu. Dia terus saja memeluk lututnya sembari menatap aliran sungai.
"Woy!" ujar Rion sembari mencipratkan air ke arah Syana.
Syana terkesiap. "Ihh! Apaan, sih?!"
"Lo yang apaan, hah? Ngelamun di tempat kayak gini!" balas Rion sembari mencipratkan air lagi.
"Yon, basah!"
"Ya, iyalah basah, namanya juga air."
Syana berdecak dan seandainya bisa dia sangat ingin membalas perbuatan lelaki itu. Sayangnya, dia yang duduk di atas batu tidak bisa menjangkau air di bawahnya.
Tak habis akal, saat Rion hendak duduk di batu yang agak lebih rendah darinya, dengan jail Syana mendorong punggung lelaki itu.
"Syan! Gila, ya, lo? Kalau gue jatuh gimana, hah?!" sentak Rion. Matanya melotot menatap Syana.
Syana terkikik. "Makanya, nggak usah iseng jadi orang!"
Rion menggeram, tapi tidak berkata apa-apa. Dia hanya memberi gadis itu tatapan peringatan lalu menatap lurus ke depan. Syana juga memilih diam, membuat suara-suara dari para hewan serta aliran sungai semakin jelas terdengar.
KAMU SEDANG MEMBACA
FIGHT OR FLIGHT [END]
Teen FictionAda dua respon yang akan manusia tunjukkan ketika dia dihadapkan pada suatu masalah, yaitu hadapi atau hindari. Bagi Syana Kasyaira sendiri, menghadapi masalah adalah cara terbaik. Tak peduli seberapa banyak dan sedahsyat apa masalah yang datang, di...