Jam menunjukkan pukul 6 dini hari. Matahari terbit semakin elok dipandang, sama seperti matahari yang terbit kini senyum manis Inara juga terbit.Inara selalu berangkat ke sekolah pada jam 6 pagi, dengan alasan ingin cepat-cepat bertemu dengan Galen. Gadis itu tak lagi marah akan kejadian tadi malam.
Menurutnya, jika Inara masih marah, Galen tidak akan membujuk dan itu akan membuat dirinya dan juga Galen semakin renggang.Sambil bersenandung, Inara memasuki kelas yang masih sangat sepi. Gadis berkuncir kuda itu meletakkan bekalnya di meja Galen tak lupa dengan botol minum berwarna abu-abu karena Inara ingat jadwal kekasihnya di hari sabtu ini untuk latihan basket.
Sebenarnya hari Sabtu tidak sekolah namun ada beberapa guru yang membantah dan membuat peraturan jika di hari sabtu akan tetap sekolah tapi tidak belajar. Semua murid harus mengikuti program pramuka dan olahraga yang selalu diadakan pada hari sabtu.
Inara sedikit melipat baju olahraganya yang sedikit kebesaran, kemudian ia duduk si bangku sebelah Galen dengan jari yang terus mengetuk meja. Inara tak sabar melihat wajah tampan kekasihnya itu.
"Ah, ogah gue main sama lo gue nya kalah mulu."
Inara mendongak saat mendengar suara Benzi-teman Galen yang kini memasuki kelas disusul Galen, Viger, Harsa, Keano, Dena dan Dean. Sontak Inara tersenyum lebar, ia bangkit dan berjalan ke arah Galen. Inara ingin menyambut kedatangan Galen tapi ...
"Jangan halangi jalan gue!"
Senyum manis di bibir Inara memudar, binar matanya berganti menjadi sendu. Dada Inara sesak saat Galen tak lagi menggunakan 'aku-kamu' saat berbicara dengannya. Inara tak ingin hal buruk lainnya berdatangan. Jadi, sebisa mungkin Inara kembali tersenyum manis.
"Selamat pagi Galen nya Inara," sapa Inara dengan riang tapi tak ada jawaban membuat Inara semakin sedih.
"Ra, Galen lagi nggak mood. Mending lo minggir jangan merusak hari-hari kita," sambung Dean dengan sinis.
Tak lagi menjadi rahasia kalau Dean seperti ini. Pemuda itu memang sangat membenci Inara, bukan tanpa sebab Dean membenci gadis cantik itu. Dean mempunyai alasan.
"Minggir atau gue dorong!" kata Galen lirih.
"Minggir, Ra. Lo tuli atau gimana? Perlu diteriakin?" sarkas Dena-sepupu Dean. Dia adalah satu-satunya gadis yang ada di antara Galen dan yang lainnya.
Inara mengepalkan tangan. Dengan rasa amarah yang tertahan akhirnya gadis itu terpaksa menyingkir membuat Galen dan yang lainnya melanjutkan langkah. Mata Inara memanas, sepertinya ia akan kembali menangis. Tak ingin dilihat lemah oleh Galen, akhirnya Inara memutuskan untuk pergi keluar kelas.
Benzi atau kerap dipanggil dengan sebutan Ben itu menatap Galen dengan galak. "Len, lo kok tega banget sama Inara. Kasian tau ...,"
"Cewek kayak dia emang harus ditegasin kalo enggak malah ngelunjak!" Bukan Galen yang menjawab melainkan Dean.
"Apaan sih, gue nggak ngomong sama lo," kata Ben dengan sinis. "Inara itu masih pacar Galen jadi nggak sepantasnya Galen kasar kayak gitu."
Galen mengembuskan napas tak berniat merespon ucapan Ben. Cowok itu lebih tertarik dengan bekal yang ada di mejanya, ia sudah bisa menebak bahwa bekal tersebut datangnya dari Inara.
Galen akui, Inara itu perfect. Inara gadis yang cantik dan juga mempunyai senyum yang amat manis, Inara juga sangat pandai dalam pelajaran dan juga olahraga, inara pun sangat pintar memasak, bernyanyi dan melukis. Inara sangat pandai hingga Galen tak dapat melampauinya.
"Kalo gue jadi Galen, udah nggak akan gue sia-siain cewek sesempurna Inara. Udah cantik, pinter masak lagi." Ben kembali mengoceh seraya melirik Galen yang sedang terdiam.
KAMU SEDANG MEMBACA
JAGRATARA!! (REVISI)
Teen Fiction** CERITA DALAM MASA PEROMBAKAN! Saat itu, Inara begitu mencintai sosok Galen. Inara selalu mempertahankan hubungannya yang seolah-olah sedang berada di dalam kapal dengan ombak dan badai yang berdatangan. Terombang-ambing. Galen percaya diri. Dia s...