Inara menatap kotak martabak yang ada di atas perutnya. Masih tersisa dua, ingin Inara makan tapi ia sudah sangat kenyang.
"Siapa yang kasih?" tanya Zoya.
Inara melirik Zoya yang duduk di dekat brankarnya. "Kepo kayak wartawan."
"Beli sendiri kali," sambung Nathan.
Inara hanya cemberut lalu meletakkan kotak martabak tersebut di nakas. Matanya memandang Zoya dan Nathan secara bergantian. Memang, semenjak dikabarkan Inara masuk rumah sakit lagi, kakak beradik itu langsung ke rumah sakit.
Ini hari ke 2 Inara dirawat, Zoya dan Nathan pun meminta izin kepada kepala sekolah untuk menjenguknya. Inara beruntung memiliki mereka.
"Ma, Bang Vian sama Ayah nggak ke sini?"
Nanda tidak langsung menjawab. Matanya memancarkan kesedihan. Bagaimana Nanda akan bilang bahwa suami dan anak pertamanya itu tak sanggup melihat kondisi Inara?
Sempat Brian dan Viano menjenguk kala Inara sedang tertidur dan kedua cowok itu malah menangis.
"Ayah sama abang udah ke sini waktu malam, tapi kamunya lagi tidur."
Inara hanya mengangguk, kemudian ia melihat ke arah Zoya. "Zo, jam berapa?"
"Jam 3, kalo gue sekolah pasti sebentar lagi gue balik." Zoya menatap jam tangannya.
Sejujurnya, Zoya dan Nathan sudah berada di sini saat menjelang pagi hingga siang hari. Inara jadi merasa tak enak hati.
Kini mereka terdiam. Nathan sibuk mengupas kulit jeruk lalu menyuapi Inara, Zoya memainkan rambut Inara yang mulai memanjang, sedangkan Nanda sibuk mengurus berkas desainnya yang berserakan di sofa.
Inara sedikit melirik ke arah Nanda, ada rasa sedih saat melihat Nanda yang kerepotan mengurus pekerjaan sambil menjaganya.
"Ma," panggil Inara membuat Nanda mendongak.
Nanda melepaskan kacamata lalu berjalan ke arah putrinya dengan raut lelah. "Apa sayang? Ada yang dibutuhkan?"
Inara menggeleng. "Mama capek, ya?"
Nanda menggeleng lalu tersenyum tipis. Tidak mungkin Nanda harus mengeluh di depan Inara yang masih butuh banyak semangat darinya.
Inara tahu bahwa Nanda berbohong. "Mama pulang aja, ya? Istirahat jangan sampai sakit, kalo Mama sakit nanti Inara nggak ada yang urus."
"Mama nggak capek, sayang." Nanda mengusap rambut Inara dengan lembut.
Zoya sedikit menyingkir agar Nanda lebih leluasa mengusap rambut Inara, sedangkan Nathan hanya diam menonton anak dan ibu tersebut.
"Jangan bohong, Ma. Mama pulang ya? Nanti kalo udah cukup istirahatnya Mama baru boleh ke sini." Inara tersenyum lembut lalu menatap Nathan dan Zoya secara bergantian. "Lagian ada Zoya sama Nathan juga, jadi Mama nggak perlu khawatir."
Nanda menatap kedua mata anaknya. Sedangkan Inara kini memasangkan wajah serius agar dapat meyakinkan hati Nanda, Inara tahu bahwa Nanda tak bisa meninggalkannya barang sedikitpun. Tapi Inara tak ingin melihat Nanda sakit.
"Kamu yakin?"
Inara mengangguk semangat. "Mama percaya kan sama Zoya dan Nathan?"
Nanda mengembuskan napas. "Oke Mama pulang. Tapi kalo ada apa-apa segera hubungi Mama, ya?" Nanda beralih menatap Nathan dan Zoya. "Kalian juga, tolong jagain anak Tante, ya? Jangan sampai kecolongan lagi."
Nathan mengangguk patuh. Ada rasa bersalah di hatinya saat melihat kekhawatiran di wajah Nanda.
Nathan dan Zoya terlalu lalai hingga membuat Inara kembali masuk rumah sakit.
"Siap, Tan. Pokoknya kali ini Zoya sama Kak Nathan bakalan jaga Inara 24 jam."
Nanda terkekeh geli mendengar ucapan Zoya. Lantas wanita itu membereskan kertas yang berserakan dan ia masukkan ke dalam tas. "Kalo gitu Mama pulang, ya, Nak?"
"Iya, Ma."
Dengan berat hati Nanda keluar ruang rawat. Sedangkan Zoya kini menyenggol lengan Inara pelan. "Heh, lo kayak ngusir tante Nanda tadi tuh."
"Dih, gue nggak ngusir, ya. Lagian gue nggak mau liat mama sakit gara-gara ngurusin gue yang kayak gini."
Nathan memandang Inara dengan tatapan sedih. Nathan tahu dibalik ucapan Inara, gadis itu sebenarnya merasa kesal dan benci pada dirinya sendiri. Sampai saat ini Inara masih belum bisa menerima keadaannya sendiri. Nathan jadi sedih.
"Gue keluar dulu, mau buang kulit jeruk," pamit Nathan lalu beranjak.
Zoya menatap punggung saudaranya dengan tatapan pilu. Zoya tahu pasti Nathan sedih melihat Inara yang tak seceria dulu, Zoya pun tahu kalau Nathan sedih karena cintanya tak akan pernah dibalas oleh Inara karena sahabatnya itu sangat tidak peka akan kode-kode kecil yang diberikan oleh Nathan.
Di luar ruangan, Nathan terduduk lemas dengan kulit jeruk di kepalan tangannya. Niat awal ingin keluar bukan untuk membuang sampah melainkan untuk menenangkan hatinya yang sakit melihat Inara yang sedang memasang topeng kebahagiaan.
"Inara di dalam?"
"Anjing kodok mati," latah Nathan terkejut saat suara berat memasuki gendang telinganya secara tiba-tiba.
Nathan memandang si pelaku dengan kesal. "Mau apa lo? Cari ribut juga?" tanyanya sambil bangkit dari duduk.
Cowok di depan Nathan itu hanya menggeleng pelan.
"Heh, dengar ya. Gue nggak akan biarin lo ataupun teman-teman lo ke sini apalagi cari masalah sama Inara, kalo lo mau ribut sini sama gue aja. Gue jabanin sampai ke akar-akarnya."
Cowok di depan Nathan itu hanya mengerutkan kening, ia merasa bingung dengan seksi keamanan yang katanya sih jenius.
"Gue nggak mau cari ribut."
"Terus mau cari apa?" tanya Nathan sedikit dongkol.
Cowok itu menyodorkan satu kotak martabak dan juga boneka emoji senyum membuat Nathan melebarkan mata lalu mundur beberapa langkah. Sumpah demi apapun, Nathan jadi takut rasanya.
Tak pernah menyangka bahwa cowok yang tak pernah dekat dengan perempuan di sekolah ternyata tertarik pada sejenisnya.
"Enggak, gue masih normal!" seru Nathan sambil menyilangkan kedua tangannya di dada.
Cowok di depan Nathan mendengus, "bukan buat lo tapi Inara."
Nathan termangu. Ah, dirinya jadi ingat dengan bunga yang sama persis di ruang rawat Inara, ternyata oh ternyata ....
"Kasih ke dia dan bilang tolong dimakan martabaknya. Oh, ya, ini juga boneka emoji semoga dia bisa senyum kayak boneka ini."
Nathan menerima barang dan makanan tersebut. Keningnya berkerut penuh tanda tanya. "Jadi, ada maksud apa lo ngasih Inara beginian?"
"Gue berharap dia cepat sembuh. Tolong kasih dia suport juga."
Nathan berdecak, "kalo itu sih tanpa lo suruh juga bakalan gue lakuin."
*****************
KAMU SEDANG MEMBACA
JAGRATARA!! (REVISI)
Teen Fiction** CERITA DALAM MASA PEROMBAKAN! Saat itu, Inara begitu mencintai sosok Galen. Inara selalu mempertahankan hubungannya yang seolah-olah sedang berada di dalam kapal dengan ombak dan badai yang berdatangan. Terombang-ambing. Galen percaya diri. Dia s...