33📖

7.1K 513 20
                                    

Lomba akademik sedang berlangsung, para guru memutuskan meliburkan murid-murid yang tidak mengikuti perlombaan dan jelas saja membuat semua murid kegirangan termasuk Galen dan teman-temannya.

Awalnya, Inara akan mengikuti sebuah lomba matematika bersama Nathan. Namun, kedua orang tua gadis itu tidak memberikan izin seperti dahulu kala hingga membuat para guru sedikit kecewa dan pesimis, takut juga olimpiade matematika kali ini tidak seperti biasanya yang membawa pulang medali.

Dulu, Inara selalu menjadi perwakilan olimpiade matematika dari sekolahnya bersama Nathan tapi kali ini sudah berbeda, gadis itu tak lagi mengikuti kegiatan-kegiatan sekolah.

Viger pun sama senangnya, kini ia sedang bersantai menonton acara kartun di televisi sambil memakan beberapa makanan ringan.

"Viger, saya perlu bicara sama kamu."

Viger berdecak saat Viano memanggilnya. "Ganggu aja," katanya lalu bangkit.

Sambil membenarkan baju bolanya, Viger berjalan malas menuju ruang kerja keluarganya mengikuti arah jalan Viano.

Viano duduk si salah satu sofa kecil, pria itu menatap adiknya dengan tanpa ekspresi. "Duduk di depan saya."

Viger menurut kemudian bertanya, "kenapa?"

"Tadi malam Dean ke lantai atas, betul?"

Viger mengangguk santai.

"Masuk ke kamar adik saya, betul?"

Viger menghela napas jengah. "Inara adik gue juga kali. Lo pikir gue ini orang asing apa?" celetuknya membuat Viano menatap Viger tajam, ia mendengus. "Iya, tadi malam Dean ke kamar Inara gara-gara tuh cewek ngelindur sambil nangis," lanjutnya menjelaskan.

"Lo tau dari mana kalo Dean ke kamar Inara?" tanya Viger kemudian.

"CCTV." Viano mengambil beberapa kunci di laci meja kemudian memberikannya ke pada Viger. "Silakan ambil semua barang-barang kamu lalu pergi ke apartemen, ayah sudah membelikan apartemen tidak jauh dari rumah."

Viger melebarkan mata dengan mulut yang sedikit terbuka. Apa katanya? Apartemen untuknya?

Tentu saja Viger sangat syok. Apa ... ini yang dinamakan diusir dengan gaya?

"Lo ... lo ngusir gue?" tanya Viger ragu.

Tidak! Tidak mungkin Kakak kandungnya berani mengusirnya seperti ini. Walaupun mereka tidak akrab tapi tidak mungkin tega Viano melakukan hal keji seperti ini. Walaupun Viger diberikan apartemen tetap saja ia tidak terima.

"Bukan kemauan saya, tapi ayah. Lagipula kamu sudah membuat kesalahan."

"Kesalahan apa lagi?" bentak Viger sambil menggebrak meja. Dirinya benar-benar geram dengan keluarganya sekarang, apa-apa selalu Viger yang salah.

"Bukannya ayah sudah memberikan peraturan agar siapapun termasuk teman-temanmu tidak boleh ke lantai atas, hanya Mama yang boleh. Kamu lupa?" Satu alis Viano terangkat.

Viger muak. Lagi-lagi karena Inara, semua mengalahkannya hanya karena tingkah aneh gadis itu.

Memang semenjak masalah gaun sialan itu tak hanya kamar Viger yang dipindahkan, tapi ia juga tak boleh naik ke lantas atas jika tidak memiliki keperluan yang mendesak.

Viger berdiri, masa bodoh jika dirinya membentak Viano kali ini. Dirinya sudah kepalang kesal.

"Terus! Terus aja nyalahin gue. Yang masuk ke kamar Inara itu Dean bukan gue. LO ENGGAK BUTA, KAN? dari kemarin gue udah sabar, ya, liat kelakuan ayah, mama, bahkan lo ikut-ikutan kayak gini." Napas Viger sudah tak teratur, sungguh emosi sekali bahkan wajahnya pun memerah.

"Apa-apa gue yang disalahin. Inara nangis, gue yang disalahin, Inara ngamuk, gue juga yang disalahin. Sebenarnya dia tuh kenapa sih? JADI GILA, YA, KARENA GUE SAMA GALEN NGGAK JEMPUT DI DI VILLA ANGGREK?" pekik Viger meluapkan segala emosinya. Hari ini Viger tidak dapat mengendalikan semua ucapan.

Viger merasa kesal karena mereka menyalakan Viger saat Inara sedang bertingkah gila.

Kedua tangan Viano terkepal kuat. Semoga saja tangan itu tidak mendarat kuat di pipi adiknya. "Tutup mulut sampahmu, Ger. Lebih baik kamu bereskan semua barang-barangmu dan pergi."

Viger terkekeh sinis. "Bahkan lo sama ayah bisa ngusir gue sekarang. UDAH DIKASIH APA LO SAMA INARA? Cuma karena dia ngedrama aja lo semua jadi gini ke gue, bego tau nggak?"

TAK!

Viano melempar vas bunga ke dinding, ia berdiri lalu mendekati Viger yang sekarang terdiam. "Drama katamu?"

"Kamu anggap Inara adikmu, kan, Ger?"

Viger masih diam, matanya masih terpancar emosi.

"Kalau kamu Abangnya lalu di mana kamu saat Inara sedang sedih? Di mana kamu saat Inara butuh tempat untuk curhat? Di mana kamu saat teman-teman Galen menghina Inara? LALU DI MANA KAMU SAAT INARA SENDIRIAN DI VILLA ANGGREK?"

"ITU SALAHNYA SENDIRI, NGAPAIN DATANG KE SANA!" teriak Viger kesetanan. "Inara terlalu kekanak-kanakan, cuma karena enggak bisa jemput aja dia marah ke Galen sampai segitunya bahkan Inara juga marah ke gue sampai sekarang."

"Wajar!" bentak Viano. "Wajar adik saya marah seperti itu ke kalian. Kamu tau apa yang terjadi saat Inara di Villa sialan itu?"

Viger diam. Dia memang tidak tahu apa-apa, keluarganya bungkam dan selalu menyalahkannya bahkan sekarang mereka mencoba untuk mengusir Viger dari rumah ini.

Mata Viano memanas, dengan sangat lancang air mata itu mengalir begitu saja. Sakit rasanya saat mengingat kondisi Inara pertama kali ia lihat.

Viano menatap Viger. "Ini semua gara-gara kamu, Dean, dan Galen. GARA-GARA KAMU TIDAK MENJEMPUT ADIK SAYA, INARA DIPERKOSA!"

Seketika juga kedua lutut Viger terasa sangat lemas, seperti ada sesuatu yang amat panas menyiram dadanya saat ucapan Viano terlontar sangat lantang. Viger mundur, terduduk bersandar pada dinding polos. Tatapannya kosong, membayangkan wajah Inara yang dihiasi sebuah senyuman indah.

Viano pun lemas, ia ikut terduduk di sofanya kembali dan terisak-isak. "Inara diperkosa di Villa tersebut. Dia diikat semalaman. Tubuhnya penuh luka sayatan, mukanya dipenuhi lebam, Inara mengalami PTSD dan itu semua karena KAMU!" Viano menunjuk Viger penuh emosi.

Viger menekuk kedua lututnya. Dia menggeleng, menepis semua fakta yang Viano katakan. Sama seperti Viano, kini Viger pun menangis.

"Kamu memang tidak pantas menjadi seorang Kakak, Ger."

Vuger semakin lemas. Kepalanya terasa pusing dan matanya terasa buram. Tangan kiri milik Viger terangkat memegangi dada, rasanya ada sesuatu yang sangat panas memenuhi dadanya, rasanya seperti ada belati tajam yang menusuk jantung Viger.

Viger tergugu. Tangisannya terdengar amat pilu. Jujur saja, ia memang marah pada Inara yang egois tapi ... kakak mana yang kuat mendengar kabar bahwa saudarinya kehilangan masa depannya, kehilangan impiannya?

"Post-traumatic stress disorder," gumam Viger dengan tatapan kosong.

*******************

Ada yang punya PTSD? Jika ada, semoga lekas disembuhkan, ya. Aku tahu itu nggak mudah:).

JAGRATARA!! (REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang