30📖

7.6K 487 6
                                    

"Hai, Inara. Hari ini lo cantik banget."

Inara terkekeh geli saat melihat ikan kecil yang terbungkus plastik bening dan dipenuhi oleh air itu bergoyang-goyang di depannya. Ikan hias berwarna merah muda dengan campuran warna biru laut, benar-benar indah sekali.

Inara mendongak, melihat siapa yang membawa ikan cantik tersebut. "Lo tau banget cara ngehibur gue."

Harsa menggaruk pipinya yang tak gatal. "Bagus dong kalo lo terhibur." Harsa menatap bangku di samping Inara yang kosong. "Boleh nggak gue duduk di situ."

Inara menatap bangku yang ditunjuk Harsa. Sebentar cewek itu terdiam. Entah bagaimana keduanya menjadi semakin dekat tapi Inara baru menyadari bawa ia tak begitu takut dengan Harsa, Inara pun baru menyadari bahwa selama Harsa di dekatnya cowok itu selalu menjaga jarak.

"Kalo enggak boleh nggak papa kok, Ra. Gue siap berdiri di depan lo sekalian puas liat lo yang cantik."

Satu hal yang Inara tahu tentang Harsa, cowok itu sama sekali bukan cowok cuek yang dikatakan oleh banyak murid di sekolahnya, bukan pula cowok yang anti cewek. Harsa yang sebenarnya adalah cowok yang sedikit berisik dan pandai sekali melambungkan hati seorang perempuan.

Untungnya karakter seseorang Harsa bukan lah cowok yang playboy. Jika, iya, maka sudah banyak gadis yang menjadi mantan cowok itu.

"Enggak papa kok, Sa. Asal jauhan dikit dan nggak nyentuh gue, lagian taman sekolah hari ini ramai," jawab Inara sambil tersenyum manis.

Harsa mengangguk, lalu duduk di samping Inara, ya ... walaupun keduanya berjarak sedikit jauh tapi Harsa bersyukur kakinya tidak akan mengalami pegal.

Harsa menatap sekitar, memang benar taman sekolah hari ini sangatlah ramai.

Harsa menyodorkan ikan hias tersebut. "Ambil, buat lo biar ada teman ngobrol."

Inara menatap ikan tersebut, mengambilnya lalu terkekeh kecil. "Ikan unyu kayak gini mana bisa ngerespon omongan gue, Sa." Inara menatap Harsa. "Lo nggak kasih gue martabak lagi?"

"Nagih ceritanya?" Satu alis Harsa terangkat.

"Cowok itu harus menepati janji. Kan lo sendiri yang bilang kalo mau kasih gue martabak setiap hari," ujar Inara dengan alis yang menukik.

Harsa tertawa hingga gigi geraham pemuda itu terlihat, kemudian ia menggerakkan tangan ke belakang tubuh mengambil satu kotak martabak kemudian Harsa berikan pada Inara.

Inara menerima dengan senang hati kemudian ia hirup aroma martabak itu sambil memejamkan mata, saat itu pula diam-diam Harsa tersenyum tipis lantas berujar, "semoga lekas sembuh, Inara."

**************************

Rumah Galen hari ini sangat ramai hingga membuat Gavi yang sedang mengerjakan skripsi terganggu akibat perdebatan para orang tua yang tengah berkumpul di ruang tamu.

"Sialan, kalo gini terus nggak selesai-selesai nih skripsi!" Gavi sangat kesal lalu menutup laptop.

"Vi, bantu Mama ambil kue di dapur, ya."

Gavi berdecak lalu bangkit dan berjalan dengan ogah-ogahan. Terkadang Gavi pikir mamanya itu sedikit menyebalkan, sedang asik mengerjakan skripsi tapi dengan tampang tak berdosanya wanita cantik itu meminta Gavi padahal para pekerja di rumah Gavi terbilang banyak.

"Alah, udah sih. Tinggal kamu ikhlaskan saja apa susahnya? Lagian korbannya hanya anakmu saja, kan?"

Brian mengembuskan napas. Sudah berkali-kali Brian mencoba menahan emosinya yang meletup kala Devan terus saja berbicara seperti itu.

Damian menatap Devan dengan tajam. "Tutup mulutmu, Van. Kamu harusnya merasa bersalah, akibat anakmu itu Inara jadi seperti ini."

Pria berseragam polisi itu mengangguk setuju---dia Vano---ayah Harsa yang diundang secara langsung oleh Brian untuk menangani kasus ini.

"Ya, ya, anakku memang berengsek. Nanti biarku hajar dia," jawab Devan dengan pasrah. Devan menatap Damian dengan sinis. "Lagipula bukan anakku saja yang salah. Galen juga sama bodohnya dengan Dean," lanjutnya menyindir Damian tapi yang disindir hanya diam seraya memeriksa beberapa bukti yang berserakan di meja.

"Apa tidak ada bukti lain? Ini masih belum cukup kuat, lagipula kita belum memastikan benar salahnya," kata Vino sambil menatap laptop, ia sedang memperhatikan rekaman yang ada di dekat villa Anggrek.

Viano menghela napas, ia menyadarkan tubuhnya di belakang sofa. "Belum ada titik terang. Saya hanya menemukan pisau yang kemungkinan milik pelaku, tapi tidak ada sidik jari sedangkan CCTV di mobil Inara saat itu sudah di rusak dan kemungkinan ulah si pelaku."

Viano mendongak saat melihat Gavi yang dengan ogah-ogahan memberikan dua toples cemilan ringan dan satu piring berukuran sedang dengan isi kue, disusul wanita cantik yang sedang membawa berbagai macam minuman manis, Viano rasa itu adalah istri Brian. Sangat cantik namun sudah berumur tua.

Damian menatap Devan. "Apa sudah direncanakan? Apa pelaku bersekongkol dengan putramu?"

"Anakku memang nakal tapi dia tidak akan melakukan hal sekeji itu. Lagian buat apa Dean melakukan hal itu jika dia bisa melakukannya sendiri?"

"Tuan Devan! Tolong jangan memancing emosi saya," kata Brian merasa amat kesal.

Kalimat yang Devan keluarkan memang selalu berhasil membuat Brian dan Viano menjadi sangat emosi.

"Apa yang salah? Toh, anakmu juga tidak menjaga diri kala itu, kan?" Devan menatap Brian penuh ejek. "Berpakaian seksi bak sedang telanjang, mana ada laki-laki yang tahan melihatnya. Pun juga dia terlihat amat cantik, bahkan Dean saja-"

"TUTUP MULUTMU, DEVAN!" teriak Brian seraya bangkit.

Beberapa orang lainnya terkejut melihat Brian yang sangat menakutkan. Dada Brian naik turun, kedua tangannya terkepal dan wajahnya pun memerah menatap Devan tajam.

"Jika tidak ingin membantu saya dalam kasus ini, silakan pergi. Tapi jangan harap anakmu akan baik-baik saja setelah ini."

Devan ikut bangkit. "Mengancam saya, huh?!" Setelahnya pria setengah baya itu terkekeh sinis. "Saya tidak takut, bahkan berencana membunuhnya saja saya tidak peduli!"

Devan mengambil tas kantornya. "Sia-sia saja saya datang ke sini."

Ayah dari Dean Mahendra itu melangkah pergi. Sudah di dekat ambang pintu tapi langkahnya terhenti lalu berbalik menatap Brian dengan tajam. "Memang sepantasnya anakmu itu mendapatkan ganjaran seperti ini, karena terlalu sombong menolak Dean."

Viano terdiam saat mendengar penuturan Devan.

Apa Dean menyukai Inara?

****************************

JAGRATARA!! (REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang